Home   Blog  
Jurnalisme

  Monday, 31 January 2022 13:32 WIB

Herawati Diah: “Diah” Hebat yang Lain

Author   Digital Marketing

Foto Herawati Diah oleh Tempo

Setiap mendengar kata “Diah”, B. M. Diah mungkin nama yang sering teringat dan terlewat. Namun, ada “Diah” lain yang berkontribusi untuk dunia kewartawanan. “Diah” itu adalah Herawati Diah yang tak lain adalah istri dari B. M. Diah.

Herawati sendiri merupakan salah satu wartawan wanita yang berpendidikan tinggi saat itu. Ia memiliki keistimewaan yang membantunya dalam mendapatkan kesempatan bersekolah. Hal ini tidak semua rakyat Indonesia saat itu punya, terutama wanita.

Dalam dunia kewartawanan, ia mengkritik patriarki yang terjadi dalam jurnalisme di Indonesia. Hal yang dikritiknya adalah pembagian tugas di rumah yang memengaruhi kinerja wartawati di lapangan. Hal ini dikritik karena wartawan bisa leluasa bekerja tanpa diganggu urusan rumah tangga dan ini tidak terjadi di kehidupan seorang wartawati.

Memiliki Latar Belakang Keluarga yang Istimewa

Herawati Diah terlahir dengan nama Siti Latifah Herawati Latip. Nama Latip berasal dari ayahnya, dokter Latip, yang bekerja sebagai tenaga medis di perusahaan Belanda. Herawati lahir di Belitung, 3 April 1917 dan berasal dari keluarga yang melek pendidikan saat itu.

Keluarganya tinggal di lingkungan orang Belanda. Herawati pun sempat bersekolah di ELS (Europeesche Lagere School) atau SD khusus orang Eropa saat itu. Ia pun sempat mendapatkan perlakuan diskriminatif. Namun, pamannya, Achmad Subarjo, selalu memintanya untuk tahan dengan kondisi tersebut karena tidak semua memiliki kesempatan, seperti dirinya.

Setelah lulus pendidikan dasar, ia melanjutkan SMP-nya di Salemba dan SMA-nya di Amerikan High School, Tokyo. Dari situ, ia berhasil menguasai bahasa Inggris dengan baik. Hal ini pun menjadi salah satu pendorongnya untuk melanjutkan kuliah Jurnalistik dan Sosiologi di Columbia University.

Salah satu yang ia syukuri adalah ibunya, Alimah, yang selalu mendukungnya untuk mendapatkan pendidikan yang tinggi dan bisa menaikan derajatnya.

Menyeimbangkan Keluarga dan Pekerjaan 

Balik dari Amerika sekitar tahun 1942, ia langsung bekerja di Radio Hosokyoku karena saat itu Jepang sudah mulai menguasai Indonesia. Dari situ, ia mulai bekerja di bidang jurnalistik dan bertemu dengan B. M. Diah yang menjadi suaminya. 

Ia pun bergabung dengan surat kabar Merdeka yang dipimpin oleh B. M. Diah dan bekerja sama untuk meliput banyak hal. Salah satunya adalah All Indian Women’s Congress di Madras, India pada tahun 1947. Ia meliput sebagai wartawan dari Merdeka.

Setelah menikah dengan B. M. Diah, ia mulai harus menyeimbangkan pekerjaan sebagai wartawati dan istri di rumah. Ia merasa beruntung memiliki suami yang berprofesi serupa. Walaupun begitu ia tetap mengkritik pembagian tugas dalam keluarga yang memengaruhi karir perempuan. Ia berargumen kenapa hal ini hanya terjadi pada perempuan. Padahal, wartawan laki-laki tidak pernah terpengaruh dengan urusan keluarga di rumah saat menjalankan tugasnya.

Ia pun tetap lantang menyuarakan wartawati harus mendapatkan perlakuan yang setara dengan wartawan sambil terus menggerakkan harian Merdeka bersama suaminya, B. M. Diah.

Baca juga : Badan Siber dan Sandi Negara Akan Gandeng BIN, TNI, Polri

Bagikan
WordPress Image Lightbox