Home   Blog    Jurnalisme
Menulis

  Tuesday, 15 February 2022 10:52 WIB

Etika dalam Meliput Kasus Kekerasan Seksual

Author   Digital Marketing

Ilustrasi liputan kekerasan seksual

Belakangan, semakin banyak kasus kekerasan seksual terkuak lewat media sosial, salah satunya Twitter. Tidak hanya membeberkan kasus kekerasan yang dilakukan oleh pesohor atau orang ternama. Kadang ada pengunggah yang menyebarkan informasi soal tindak kekerasan seksual yang dialami oleh teman atau saudaranya sendiri dengan tujuan mencari keadilan untuk korban dan menghukum pelaku.

Menulis tentang kasus kekerasan seksual memang sangat rawan dan harus penuh pertimbangan. Terlebih jika Anda adalah jurnalis yang ditugaskan untuk meliput dan menulis soal kasus kekerasan seksual.

Melansir dari Jurnal Komnas Perempuan Analisis Media: Sejauhmana Media Telah Memiliki Perspektif Korban Kekerasan Seksual? (2015) diperoleh sebuah kesimpulan bahwa pemberitaan mengenai kekerasan seksual di Indonesia masih belum memenuhi kaidah etik jurnalis. Masih ditemukan pelanggaran, seperti mencampurkan fakta dan opini sebanyak, mengungkapkan identitas korban, menggunakan diksi yang bias, hingga media yang menggiring opini pembacanya untuk membuat persepsi dan menghakimi korban.

Untuk meliput dan menulis tentang kasus kekerasan seksual yang baik, jurnalis harus memahami apa itu kekerasan seksual. Lewat Deklarasi Mengenai Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, PBB menyatakan bahwa definisi kekerasan seksual sebagai, “Setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang mengakibatkan kesengsaran atau penderitaan secara fisik, seksual atau psikologis. Termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang.” Berikut beberapa etika meliput kasus kekerasan seksual:

1. Memahami Hukum Terkait

Dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ), setidaknya ada empat pasal yang dapat menjadi tolak ukut pemberitaan kekerasan seksual dalam bentuk pelecehan dan eksploitasi seksual. Komnas Perempuan lewat analisis medianya, menyebut pasal 2, 4, 5, dan 8.

Selain dalam KEJ, Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 juga mengatur soal kekerasan seksual. Juga soal Rancangan Undang-Undang (RUU) Kekerasan Seksual (PKS) yang diajukan ke DPR, sebagai upaya untuk mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual, penting untuk diikuti perkembangannya. Sebagai seorang jurnalis, pemahaman soal permasalahan hukum, terlebih untuk kasus kekerasan seksual yang sensitif, sangat diperlukan.

2. Memihak Korban dan Melindungi Identitasnya

Seperti yang disebutkan dalam kesimpulan analisis media yang dilakukan Komnas Perempuan soal pemberitaan kekerasan seksual, media di Indonesia belum mampu sepenuhnya memenuhi hak korban. Padahal penting untuk memihak pada korban karena bagaimanapun tindak kekerasan adalah salah. Tindakan itu tidak hanya melukai fisik, tetapi mental korban yang membawa penderitaan bahkan bisa sampai seumur hidupnya.

Oleh sebab itu, jurnalis harus melindungi identitas korban dan tidak boleh sembarangan menyebutnya. Identitas itu bisa berupa nama, foto, alamat rumah, nama sekolah, nama keluarga terkait, dan informasi pribadi yang tidak dibutuhkan dalam pemberitaan. Saat meliput dan menuliskan berita, jurnalis harus mempertimbangkan kondisi korban dan mendapatkan persetujuannya.

3. Menulis Berita yang Tidak Dilebih-lebihkan

Komnas Perempuan mendapati, dari sembilan media yang mereka analisis, 29 persen pemberitaan kasus kekerasan seksual mereka masih menggunakan diksi yang bias. Para pelaku media ini juga terlalu cepat mengambil kesimpulan dengan menggunakan kalimat yang mencolok, sehingga pembaca mudah tergiring dan bisa saja menghakimi korban. Karena itulah, penting untuk menulis berita kasus kekerasan seksual dengan bahasa yang tidak sensasional dan melebih-lebihkan.

Jika dalam unggahan kasus kekerasan seksual yang viral di media sosial, terkadang terlalu detail lengkap dengan bukti-bukti tangkapan layar, media dan jurnalis seharusnya tidak demikian. Menuliskan detail kronologi yang dialami korban tanpa kesepakatannya, justru membuat korban harus terluka dua kali. Tulis fakta-fakta yang sudah disetujui korban, tetapi usahakan tidak terlalu rinci seperti menyebut bagian tubuh yang privasi karena masih tabu di mata masyarakat.

Menulis kasus kekerasan seksual memang tidak mudah karena ada banyak faktor yang harus dipertimbangkan. Maka dari itu, etika dan empati sangat dibutuhkan jurnalis saat meliput permasalahan ini. Ditambah lagi kondisi sosial masyarakat di Indonesia yang masih memandang seksual sebagai hal tabu.

Baca juga : Badan Siber dan Sandi Negara Akan Gandeng BIN, TNI, Polri

Bagikan
WordPress Image Lightbox