Home   Blog  
Kolom

  Monday, 06 August 2018 07:36 WIB

Produk Fashion, Antara Zara, Muji, dan Tenun

Author   Tempo Institute

Penenun di perbukitan Raimanuk, Kabupaten Belu. TEMPO/Mardiyah Chamim

Produk Fashion adalah cermin semangat sebuah zaman. Di masa yang serba konsumtif ini, produk fashion pun mendapat bahan bakar dari perilaku konsumtif. Saya pernah asyik ngobrol dengan teman yang mendalami bisnis fashion. Zara, H&M, Next, punya model bisnis dengan lifestyle produk cuma berumur kurang-lebih tiga bulan. Kampanye pemasaran produk baru terus muncul, berdasar empat musim yang sama sekali tak relevan di negeri tropis. Baju tiga bulan lalu sudah menjadi passe dan konsumen didorong beli, beli, dan beli lagi.

Benar, tak semua produk fashion menyandarkan tulang punggung pada perilaku konsumtif.  Tak sedikit juga produk fashion yang mengandalkan pada kualitas dan loyalitas, biasanya yang masuk kategori ini adalah lini produk fashion papan atas.  Untuk produk fashion menengah, yang cukup fenomenal adalah Muji, produk fashion Jepang, yang lebih mengutamakan kualitas dan kesederhanaan. Model produknya simpel dan fungsional, dengan warna-warna yang tak terbatas waktu seperti putih, coklat, biru, hitam, abu, merah maroon. Muji bahkan sama sekali tidak beriklan. Tata letak tokonya pun sederhana saja, dengan tipografi logo yang tidak berteriak. Anehnya, penggemar setia Muji pun terus tumbuh. Kedalaman, loyalitas, ada di Muji.

tato tenun

Rosinah Soik dan tato tangan motif tenun. TEMPO/Mardiyah Chamim

Pekan lalu, awal Agustus 2018, saya menjelajah Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Di pedahaman Belu, tepatnya di perbukitan Raimanuk, fashion punya makna yang jauh berbeda. Kain tenun, produk kebanggan di kawasan Nusa Tenggara dan banyak daerah lain di Indonesia, bukan sekadar fashion. Kain tenun atau tais adalah identitas, kebanggaan, seni, dan cinta. “Setiap acara adat, kita harus mengenakan kain tenun. Mulai dari rapat, menerima tamu besar, upacara pernikahan, sampai kematian,” kata Nella Besin, dari suku Beituka di Raimanuk. “Tais itu identitas kami.”

Kain tenun juga sebuah cinta. Sosok Rosinah Soik Taek, 80 tahun, misalnya, menato motif tenun di tangan dan kakinya. Tak kurang dari 20 rajah tato tersebar di kaki dan tangannya, dengan motif tenun burung walet, candi, bunga, atau motif geometris khas Raimanuk. Rosinah, yang ditato ketika masih remaja, tak tahu persis apa alasan seseorang diberi tato tenun di tubuhnya. “Siapa yang mau aja,” katanya. Tentu saja ini pernyataan yang menyederhanakan. Pilihan menato tubuh dengan motif tenun pasti karena ada cinta yang sungguh pada kain tenun.

Tato bermotif tenun di tubuh Rosina berfungsi pula seperti dokumentasi. Di masa lalu tak ada kamera dan alat dokumentasi canggih. Walhasil, motif tenun diawetkan dalam bentuk rajah. Sekarang, dengan adanya kamera telepon genggam, dokumentasi motif tenun jadi lebih mudah. “Tinggal klik, simpan, beres,” kata Nella Besin yang juga cucu menantu Rosina.

Tangan Rosinah Soik, 80 tahun, penuh tato motif tenun. TEMPO/Mardiyah Chamim

Di pedalaman Belu, saya juga bertemu mama-mama yang bangga mengenakan beragam kain tenun cantik. Ada yang dipajang untuk dijual, ada yang tidak. “Ini yang saya pake, kain yang usianya sudah 20 tahun. Dulu saya yang bikin. Pake pewarna alami dari mengkudu dan pinus punya kulit,” kata Mama Martina Muti Besin, 54 tahun. Martina melanjutkan, proses pengerjaan kain tenun berbeda-beda tergantung kerumitannya. Motif yang paling umum dan relatif mudah dikerjakan adalah motif fafoid. Kain dengan motif fafoid memakan waktu pengerjaan dua bulan dan harganya sekitar Rp 400-500 ribu. Nah, motif yang lebih rumit adalah talik dan futus, yang membutuhkan proses ikat berkali-kali, proses pengerjaannya bisa sampai enam bulan bahkan sampai setahun. Harga kain tenun yang lebih rumit motif dan tekniknya ini antara Rp 2 sampai 5 juta per lembar.

Zara, Muji, dan Kain Tenun memang berbeda. Ketiganya tak seharusnya diucapkan dalam satu tarikan napas. Saya hanya ingin menunjukkan bahwa ada yang sekadar menjadi industri tanpa jiwa, lalu ada selembar kain tenun yang dihasilkan berbulan-bulan dengan penuh cinta.

Pada tenun dan kain-kain nusantara yang beraneka, bangga dan cintaku kian tebal. Kain yang bukan sekadar fashion, tapi sebuah cerita kehidupan. Tenun Belu, juga kain tenun dari daerah lain di Indonesia, adalah produk kreatif  lokal yang perlu mendapat suntikan baru, perlu dinarasikan dengan storytelling yang memikat sehingga pamornya lebih berkilau.

Mardiyah Chamim

Baca juga : Badan Siber dan Sandi Negara Akan Gandeng BIN, TNI, Polri

Bagikan
WordPress Image Lightbox