***
Penceritaan, storytelling, sebuah seni yang kian penting di tengah melimpahnya informasi di zaman digital.
Sebagai jurnalis, saya paham betul pentingnya storytelling. Tulisan feature, berita kisah, selalu memikat perhatian pembaca. Tak jarang pula sebuah tulisan jenis ini sanggup menggerakkan orang untuk bertindak. Artikel feature tentang Prita Mulyasari, yang pada 2009 digugat gara-gara komplain pelayanan sebuah rumah sakit, contohnya, langsung membuat orang-orang tersentak. Penggalangan dana terjadi di mana-mana, sebagai wujud solidaritas pada Prita, ibu dua anak, yang dituntut Rp 1 miliar oleh rumah sakit. Gerakan “Koin untuk Prita” bergulir kuat.
Belakangan, saya memahami bahwa kekuatan penceritaan bukan cuma berlaku di gerakan sosial tetapi juga di dunia usaha. Media sosial membuat pelaku bisnis punya pilihan yang jauh lebih banyak. Beriklan tak cuma bisa di majalah atau koran, yang biayanya mahal. Siapa pun kini bisa menyajikan kisah dan iklan tentang apa pun dengan cepat, mudah, dan murah di media sosial. Pertukaran gagasan menjadi lebih demokratis, bisa dijangkau siapa saja asal dan di mana saja. Hanya dengan unggahan naskah singkat yang memikat, dilengkapi dengan foto yang asyik, sebuah produk bisa langsung bergema ke seluruh penjuru dan menjadi “demam”, semua orang ingin beli produk tersebut.
Indonesia adalah negeri yang kaya. Budaya, alam, dan manusianya, semua perlu diceritakan kepada dunia. Apalagi, saat ini kita sedang berupaya keras menggenjot laju ekonomi kreatif. Karenanya, penting sekali bagi para pelaku ekonomi kreatif untuk memahami dan menguasai storytelling. Kemampuan menulis feature, artikel yang berkisah, tak bisa hanya berhenti pada kemampuan jurnalis. Pelaku ekonomi kreatif pun harus menguasai teknik ini. Kami yakin, apa pun media promosi sebuah produk —baik itu tulisan, musik, podcats, poster, video—semuanya bermula dari storytelling.
Walhasil, pada 26 April 2018, bekerja sama dengan Badan Ekonomi Kreatif, Tempo Institute menggelar diskusi tentang pentingnya jurus penceritaan atau storytelling bagi produk kreatif. Diskusi ini menjadi awal dari rangkaian program “Lawatan 12 Kota, Pendampingan Komunitas Kreatif Bekraf – Tempo, Kombet Kreatif”, yang kami gelar di Padang, Bandung Barat, Surabaya, Malang, Bojonegoro, Karangasem, Singkawang, Kendari https://creativelab.tempo.co/read/1126396/storytelling-cara-promosi-menarik-produk-ekonomi-kreatif/full&view=ok, Maumere, Kupang, Belu, dan Merauke.
Kami mengundang berbagai narasumber, antara lain Deputi Hubungan Antar Lembaga dan Wilayah Bekraf Endah Wahyu Sulistianti, CEO Nah Project Rizky Arief Prakoso, CEO Qlapa Benny Fajarai, CEO Sejauh Mata Memandang Citra Subiyakto, Chief Editor Archinesia Imelda Akmal. Sebagai moderator, saya senang sekali bisa memandu diskusi yang kaya warna ini. “Topiknya keran banget, sesuai dengan kebutuhan pelaku ekonomi kreatif yang kekinian,” kata seorang peserta.
Sebagai pengantar diskusi, Deputi Bekraf Endah W. Sulistianti menekankan pentingnya storytelling sebagai nilai tambah produk kreatif. “Narasi yang tepat bisa meningkatkan sebuah produk menjadi premium dan bernilai tinggi,” kata Endah Wahyu.
Bayangkan sebuah ilustrasi yang diambil dari kejadian nyata. Kopi dari pegunungan di Jawa Barat diekspor ke Amerika dengan harga sekian puluh ribu per kilogram. Lalu, di Amerika itu kopi menjalani proses roasting yang bagus, dikemas dengan desain visual oke, dan dilengkapi dengan narasi yang kuat. Narasinya mencakup, misalnya, kopi ini ditanam di ketinggian 1.500 meter, petaninya hidup selaras dengan alam, dan dengan membeli kopi ini artinya Anda berkontribusi pada peningkatan kualitas hidup petani di pegunungan Jawa Barat. Nilai jualnya langsung melonjak, bisa jadi US 100 dolar atau Rp 1,4 juta per kilogram. “Kemasan visualnya bagus, narasinya keren, strategi brandingnya kuat. Harganya berkali lipat,” kata Endah Wahyu. “Sayangnya, karena yang bikin orang Amerika, yang menikmati keuntungan bukan petani kita.” Kemampuan storytelling inilah yang perlu dipupuk, Endah melanjutkan, agar kita bisa menciptakan narasi dan menikmati nilai tambah produk yang kita miliki.
Imelda Akmal, penulis buku arsitektur, Chief Editor Archinesia, berpendapat senada. Lebih dari masa sebelumnya, penceritaan semakin menjadi kebutuhan. Di masa teknologi informasi menjadi penopang kehidupan seperti saat ini, semua orang bisa menjadi produsen informasi. Pemenang persaingan adalah mereka yang mengisi narasi yang disediakan platform yang sudah disediakan teknologi informasi, bisa melalui blog, website, dan berbagai media sosial. Saat ini, menurut Imelda, kita berada di peradaban keempat. Pertama, peradaban agraris, kedua peradaban industri, ketiga peradaban penyediaan jasa, dan yang keempat adalah peradaban informasi. “Lebih dari sebelumnya, storytelling kini sangat dibutuhkan di berbagai bidang,” kata Imelda.
Rizky Arief Dwi Prakoso punya cerita yang keren. Pendiri dan CEO Nah Project, usaha rintisan (start up) sayap Brodo Footwear yang berfokus pada sepatu olah raga. Tahun lalu, Nah Project berniat memproduksi sepatu sneakers dengan bahan yang mirip dengan sebuah merek ternama. Persoalannya, tak mudah mencari vendor yang bisa memasok sepatu dengan spesifikasi yang diminta Nah Project. “Susah banget, kami keliling ke berbagai kota. Akhirnya ketemu vendor yang selama ini memasok merek ternama,” kata Rizky dalam sebuah diskusi di Tempo Institute, Juni 2018.
Meyakinkan vendor pun tak mudah. Butuh waktu dan perjuangan meyakinkan sang vendor. Rizky mengisahkan perjalanan mencari vendor ini di media sosial. “Ini produk pertama Nah. Penting banget buat kami,” kata Rizky. Desain sepatu, kenapa memilih bahan khusus, perjuangan mencari vendor, kesulitan modal, semua itu diceritakan Rizky di Youtube dan Instagram. “Ternyata, follower kami di media sosial suka cerita kami,” kata Rizky. “Saat produk itu benar-benar diluncurkan, 200 pasang sepatu habis dalam dua menit pemesanan online.”
Jurus berkisah ala Nah Project tak berhenti hanya pada peluncuran produk pertama. Produk-produk selanjutnya selalu dilengkapi dengan penceritaan yang menarik, dengan bahasa khas anak muda perkotaan. Tak terkecuali ketika sepatu kasual produk Nah Project dipesan Presiden Joko Widodo. “Bapak ingin cari sneakers lokal untuk dipakai dinas,” begitu telpon orang Istana yang diterima staf Nah Project, Jumat sore, 21 Juli 2018. Kontan saja telpon ini membikin panik seisi kantor Nah Project. Tiga orang Tim Nah Project pergi naik bus umum ke Istana Bogor mengantar tiga pasang sepatu pesanan Presiden. Pukul satu dini hari, Tim Nah sampai di Istana Bogor. Tiga pasang sepatu diserahkan kepada penjaga gerbang istana.
Empat hari kemudian, Selasa, 24 Juli 2018, Presiden Joko Widodo hadir di acara We The Fest. Sepatu Nah Project, tepatnya sepatu FlexKnit 2.0 Carbon Black, tampil gagah di kaki Joko Widodo. Wah, berbunga hati Tim Nah Project. “Pride, teardrops and joy,” tulis Nah Project di akun FB mereka. Sepatu kedua Nah yang dipesan Joko Widodo kemudian dikenakan di acara pawai menyambut Asian Games 2018. Tak butuh waktu lama, sepatu Pak Presiden buatan Nah sudah laku ribuan unit.
Air mineral Aqua pun tak ketinggalan menerapkan jurus penceritaan. Masih ingat, kan, tentang sosok “Cinta” Dian Sastro yang kesulitan konsentrasi hingga keliru mengenali Rangga dalam iklan Aqua? Sang pembuat iklan tak lagi berseru: Ayo, minumlah Aqua, air minum yang bla bla bla. Dengan membuat iklan versi Dian dan Rangga itu, Aqua kini dikenali sebagai air minum yang sangat penting untuk menjaga konsentrasi. Iklan Aqua ini bahkan dipelesetkan dalam berbagai meme yang inti pesannya: kalau susah konsentrasi, berarti Anda butuh Aqua. Walhasil, produsen Aqua panen iklan gratis dari berbagai penjuru.
Lalu, apa yang bisa diceritakan dalam penceritaan produk kreatif? Seperti yang diceritakan Rizky di Nah Project, kisah apa pun bisa ditampilkan kepada konsumen. Bisa tentang detail produk, bisa juga tentang konsumen pengguna produk, tentang nilai dan sikap yang diwakili sebuah produk, bisa juga tentang perjuangan. “Perjuangan cari vendor itu, kan, sebetulnya cerita susah, haha,” kata Rizky. Melalui cerita-cerita inilah produsen mendekatkan produknya kepada konsumen.
Rizky berpesan tentang jurus bercerita, “Tell your stories. Go deeper. Be honest!” Jangan sekali-kali menampilkan cerita yang tidak sesuai dengan produk Anda. “Jangan bohong. Kalau konsumen merasa dibohongi, produk kita bakal ditinggalin konsumen,” kata Rizky.
Citra Subiyakto, CEO Sejauh Mata Memandang, menambahkan resep. “Value, nilai yang kita pegang, itu juga bagus sebagai topik yang perlu diceritakan,” katanya. Sejauh Mata Memandang memilih nilai ramah lingkungan, selaras dengan alam, buat dilekatkan pada produk batiknya. Itu sebabnya, ketika publik risau dengan besarnya konsumsi plastik yang membuat sampah plastik menggunung, Citra melihat peluang promosi dengan menggunakan topik plastik. “Kami merilis cerita tentang tas plastik dari bahan singkong, cassava, sebagai bungkus produk. Itu tas dalam satu tahun akan terurai sehingga nggak mencemari lingkungan. Nah, pada hari itu banyak yg beli produk karena ingin dapet tas dari cassava,” kata Citra.
Keampuhan jurus storytelling di zaman modern ini juga menjadi sorotan para ahli. Harrison Monarth, dalam tulisannya di laman Harvard Business Review https://hbr.org/2014/03/the-irresistible-power-of-storytelling-as-a-strategic-business-tool, menjelaskan bagaimana cara kerja storytelling mempengaruhi konsumen. Monarth menyebut penceritaan sebagai jurus marketing yang kekuatannya tak bisa dibendung. Data dan angka memang bisa membuka mata orang, begitu tulis Monarth. Tapi, hanya cerita yang sanggup menggerakkan hati, lalu membuat orang beraksi membeli produk Anda.
Monarth mengutip pendapat Keith Quesenberry, peneliti ilmu pemasaran di John Hopkins University, yang selama dua tahun secara intensif meneliti pola 108 iklan yang ditayangkan di arena pertandingan Super Bowl. Adalah 30 detik iklan video bir Budweiser di Superbowl, menurut para Quesenberry, yang paling jago meraih perhatian publik. Iklan Budweiser bahkan mengalahkan iklan mobil mewah yang berkilau, juga mengalahkan iklan yang dibintangi David Beckham yang berpose seksi dengan perutnya yang six pack.
Apa rahasianya? Budweiser menampilkan serial iklan dengan bintang sekelompok kuda jenis Clydesdales yang gagah. Berbagai angle cerita ditampilkan, mulai dari joki kuda, istal kuda yang berlokasi di pedesaan permai, tukang yang merawat kuda, sampai anjing kecil yang menemani kuda Clydesdales. Walhasil, jutaan penonton pun dengan suka cita membagikan dan mempromosikan tayangan kuda Clydesdales. Tak sedikit pula penggemar yang membuat kompilasi serial cerita keluarga kuda Clydesdales. Budweiser paham betul kekuatan cerita.
Bagaimana cerita kuda-kuda gagah tadi bisa memikat perhatian begitu luar biasa? Keith Quesenberry mengamati 30 detik iklan Budweiser punya pola cerita yang konsisten. “Iklannya bercerita seperti film mini,” kata Quesnberry. Pola cerita dalam iklan Budweiser sama dengan piramida cerita ala drama Shakespeare. Ada lima elemen utama dalam semua iklan Budweiser, yakni: eksposisi atau perkenalan, munculnya konflik, klimaks, situasi mereda, dan hasil akhir (denounement).
Berbagai riset juga menyebutkan bahwa penceritaan membawa dampak neurologis. Paul Zak, seorang peneliti neuroekomis —yang meneliti kaitan antara syaraf dan perilaku ekonomi—cerita yang bagus membuat produksi rangkaian hormon yang membangkitkan perasaan nyaman, yakni oksitoksin dan dopamin. Perasaan senang, nyaman, dan penuh harapan inilah yang akan mennggerakkan seorang kandidat konsumen benar-benar membeli sebuah produk.
Penjelasan para peneliti tadi sejalan dengan pengalaman qlapa.com, sebuah platform e-commerce produk-produk Indonesia. Benny Fajarai, founder dan CEO Qlapa, menuturkan bahwa produk yang laris manis bagi pembeli online adalah produk yang punya narasi lengkap. Hal ini karena di lapak online, pembeli hanya bisa membaca narasi dan melihat foto yang ditayangkan. Ini jelas berbeda dengan model penjualan di pasar atau toko konvensional, yang memungkinkan pembeli langsung menyentuh dan mencoba produk.
Di Qlapa pun penjual diharuskan mengisi deskripsi produk yang hendak dijual. “Sayangnya, orang Indonesia susah bercerita. Ceritanya pelit,” kata Benny. Produsen sepatu kulit, misalnya, cuma memberi penjelasan “sepatu dari kulit”. Idealnya, penjelasan itu disertai terbuat dari kulit apa, diolah dengan cara apa, sepatu itu bisa dipakai di acara resmi atau kasual, cara perawatannya bagaimana, dan seterusnya. “Semakin lengkap narasinya, semakin laris produknya,” kata Benny. Kesulitan menarasikan produk ini pula yang dijumpai Tim Tempo Institute ketika menyambangi 12 kota yang dijadikan sebagai lokasi Pendampingan Komunitas Kreatif Bekraf – Tempo Institute (Kombet)http://tempo-institute.org/berita/bekraf-dan-tempo-institute-kerja-sama-pendampingan-produk-kreatif/ .
Betul, storytelling bukan jurus baru. Sudah sejak ribuan tahun manusia jurus cerita diterapkan daengan berbagai lakon kehidupan. Legenda, kitab suci, kisah perang, dituturkan dalam bentuk cerita, baik lisan atau tulisan. Kehidupan ini pun berlangsung dalam cerita demi cerita yang diteruskan generasi demi generasi.
Di zaman digital ini, penceritaan seperti mendapat suntikan energi baru. Platform telah tersedia luas, media sosial bisa diakses siapa pun, koneksi Internet pun dipastikan semakin cepat dan murah. Teknologi digital, yang membuat hidup bergerak lebih bergegas, membuat orang merindukan hal-hal yang mengisi jiwa, membawa emosi, dan menggerakkan hati.
Nah, siapkah Anda mengisi narasi zaman digital ini dengan warna-warni produk kreatif?
****
Mardiyah Chamim adalah wartawan Tempo sejak 1998, Direktur Tempo Institute.
Baca juga : Badan Siber dan Sandi Negara Akan Gandeng BIN, TNI, Polri