Oleh Purwanto Setiadi
Selalu ada hal-hal yang membuat orang takjub di dunia ini. Dari semua yang mungkin, rasanya, tak ada yang semencengangkan fenomena ini: orang-orang yang bukan saja bertahan dalam pendapat yang keliru, bahkan setelah ditunjukkan bukti kekeliruan itu, tapi juga terus memproduksi dan menyebarkan dalih-dalih baru untuk berkukuh. Seakan-akan tampak sebagai gejala baru, ini sebetulnya sudah ada sejak lama.
Mengamatinya sebagai perilaku yang menonjol di tengah-tengah masyarakat Prancis pada abad ke-17, Jean-Baptiste Poquelin atau yang lebih dikenal dengan nama Moliere tahu persis apa yang berlaku. Aktor, penulis lakon, dan seniman komedi ini mengabadikannya dengan kata-kata yang telak dalam menyimpulkan, dan tetap relevan. “Seorang bodoh yang terpelajar,” katanya, “lebih runyam kepilonannya ketimbang orang bebal yang tak tahu apa-apa.”
Sebagai kenyataan yang pahit, kandungan kebenaran dalam pernyataan itu sudah sulit dibantah. Pengamatan terhadap kecenderungan yang berlangsung hari-hari ini, dan apalagi kajian ilmu pengetahuan modern, membenarkannya. Yang bisa dikemukakan adalah kenyataan yang juga ironis itu sebetulnya erat kaitannya dengan satu dari sekurang-kurangnya tiga masalah yang timbul dalam upaya menyorongkan fakta untuk melawan hoax, berita bohong, dan informasi palsu yang kini meruyak karena memang sengaja diproduksi dan disebarluaskan: bahwa kebenaran bisa mengancam, dan orang yang terancam justru akan menyerang balik.
Jika ditanya apa sebabnya, jawabannya terletak pada faktor penentu di belakang “efek serangan balik” itu, yakni kecenderungan orang pada umumnya untuk mencari kawan dan/atau hanya memilih penjelasan yang memang diinginkannya ketika harus merasionalkan suatu fenomena. Faktor yang pertama lebih merupakan cara orang untuk tetap berkumpul bersama kaumnya atau kelompoknya, bukan ketulusan untuk mencari kebenaran. Faktor kedua, biasa disebut bias konfirmasi, berkaitan dengan upaya mencari pembenaran atas apa yang sudah diyakini sejak semula.
Dua psikolog, Albert Hastorf dari Dartmouth College dan Hadley Cantril dari Princeton University, telah menguji motif mencari kawan, sekutu, atau kelompok itu. Mereka mempublikasikan temuannya, berdasarkan satu percobaan pada 1954, lewat makalah berjudul “They Saw a Game”. Di dalamnya, mereka memaparkan bagaimana penilaian dan respons dua kelompok responden terhadap pertandingan American football antara tim Dartmouth Indians dan Princeton Tigers.
Kedua tim bertarung keras, sangat keras, bahkan menjurus ke kasar. Akibat benturan, ganjalan, dan gasakan, seorang quarterback Princeton menderita patah tulang hidung dan seorang quarterback Dartmouth patah tulang kaki. Rekaman pertandingan ini diperlihatkan kepada responden, mahasiswa Dartmouth dan mahasiswa Princeton.
Berdasarkan rekaman yang mereka saksikan, mahasiswa Dartmouth cenderung mengabaikan pelanggaran-pelanggaran yang diperbuat pemain Dartmouth dan cepat melihat kesalahan-kesalahan pemain Princeton. Mahasiswa Princeton bereaksi sebaliknya. Menurut kesimpulan Hastorf dan Cantril, sekalipun melihat rekaman yang sama, kedua kelompok responden punya pandangan yang bertolak belakang. Masing-masing punya persepsi sendiri, yang sangat dipengaruhi oleh kesetiaan kepada kelompok.
Bersangkut paut dengan preferensi atau sandaran politik, studi mutakhir dilakukan dengan cara memperlihatkan video suatu demonstrasi kepada mahasiswa yang dipilih menjadi responden. Kepada mereka diceritakan demonstrasi itu tentang apa: sebagian diberitahu bahwa aksi protes itu dilakukan para aktivis yang memperjuangkan hak kaum gay di depan kantor rekrutmen tentara, mengecam kebijakan yang melarang siapa saja yang sudah ketahuan gay, lesbian, atau biseksual menjadi anggota militer; sebagian yang lain diberitahu bahwa protes itu dilakukan kelompok antiaborsi di depan satu klinik aborsi.
Serupa dengan eksperimen terdahulu, kedua kelompok responden mengekspresikan perbedaan pandangan yang tajam mengenai apa yang sebetulnya terjadi. Pandangan ini dipengaruhi oleh kecondongan politik masing-masing kelompok. Mahasiswa dari kalangan liberal bersikap santai belaka menyaksikan demonstran yang mereka kira pendukung hak kaum gay, tapi geregetan menanggapi demonstrasi antiaborsi. Mahasiswa konservatif bersikap sebaliknya.
Masih seperti eksperimen sebelumnya, perbedaan yang ada di antara kedua kelompok itu sama sekali tak berhubungan dengan prinsip-prinsip umum, melainkan hal-hal khusus. Misalnya apakah demonstran meneriaki orang-orang yang lewat atau apakah demonstran memblokade akses ke kantor atau klinik tersebut. Dengan kata lain, setiap anggota kelompok yang mana pun ingin melihat apa yang dia mau lihat, seraya menyangkal fakta yang mengancam kesadarannya tentang siapa dirinya yang sesungguhnya.
Psikologi sosial punya konsep tentang fenomena itu, yakni motivated reasoning atau pengambilan keputusan/penetapan sikap yang dipengaruhi emosi. Orang yang bernalar dengan cara ini tak bakal mau menyadari kekeliruannya. Pembenci Jokowi, yang percaya pada “gorengan” informasi palsu bahwa Jokowi bukan muslim, misalnya, akan semakin yakin Jokowi memang bukan muslim sekalipun telah disodori fakta bahwa Jokowi telah berhaji; dengan berbagai cara, mereka malah berusaha mendiskreditkan semua hal yang berkaitan dengan fakta ini. Begitu pula halnya, mereka yang telanjur meyakini Ratna Sarumpaet dianiaya sekelompok orang, dan bahwa pemerintah (Jokowi) bertanggung jawab, sebagaimana yang secara sewenang-wenang dituduhkan politikus oposisi, bakal bergeming meski penyelidikan polisi menunjukkan penganiayaan itu tak lebih dari kejadian yang merupakan karangan belaka.
Sangat boleh jadi orang-orang itu menimbulkan kesan, sekurang-kurangnya, bagai kerbau yang dicocok hidungnya. Tapi, seperti kata Moliere, mereka bukan tak tahu apa-apa; mereka sebetulnya terekspos pada bermacam-macam informasi, beraneka fakta. Pengetahuan itu yang menjadikan kepilonan mereka berada di level yang lebih buruk ketimbang orang-orang yang hanya bebal karena tak tahu-menahu apa pun.
Merekalah, entah sampai kapan, pembeli setia jualan politikus yang sesungguhnya kosong, atau malah merusak.
Penulis adalah wartawan, penyunting buku Jurnalistik Dasar: Resep dari Dapur Tempo, pernah menjadi Redaktur Pelaksana Tempo. Ia juga menulis tentang musik, kopi, dan sepeda di akun Facebook-nya.
Baca juga : Badan Siber dan Sandi Negara Akan Gandeng BIN, TNI, Polri