Home   Blog  
Kolom

  Monday, 01 October 2018 01:00 WIB

Kopi Seduh Dingin, Tuan

Author   pwtsetiadi

...lembut di lidah dan manis; semua karakteristik muncul.

Oleh Purwanto Setiadi

Sambil menggenjot pedal di bawah sengatan matahari September, saya membayangkan berdiri di depan kulkas di rumah, membuka pintunya, lalu memusatkan pandangan ke isinya. Tepat di rak bagian tengah, di jajaran paling depan dari berbagai bahan makanan yang ada, tampak mason jar yang berembun, juga isinya yang sekilas mirip minuman ringan bersoda Coca-Cola. Saya mengangankan meneguk isi toples kecil tapi gendut itu: kopi yang diseduh dengan metode dingin.

Di kalangan pengopi, di industri perkopian, ada sebutan yang hip untuk jenis seduhan itu: cold brew coffee. Kopi dingin, tapi bukan es kopi. Agar jelas bedanya, mesti dikemukakan bahwa es kopi atau kopi yang diberi es adalah sajian kopi yang didapat dengan membubuhkan es pada espresso–bahan dasarnya–dan menambahkan susu atau sirup, atau es krim. Kopi dingin dibuat dengan cara berbeda: bubuk kopi dilarutkan dalam air bersuhu kamar sekurang-kurangnya 18 jam untuk mendapatkan konsentrasi sari kopi.

Bukan sekadar gaya atau sesuatu yang dikerjakan semata-mata karena unik atau keren, menyeduh kopi secara dingin menghasilkan ekstraksi yang berbeda dibandingkan dengan kopi seduh panas. Proses yang perlahan-lahan dan lama itu diyakini bisa mendorong keluar aneka karakteristik biji kopi, yang berbeda-beda menurut daerah asalnya, yang sayangnya tak bakal muncul atau tak sepenuhnya timbul melalui seduh biasa (dengan air panas). Kopi seduh dingin terasa lebih lembut di lidah, juga jauh lebih manis ketimbang Americano atau kopi yang dibuat dengan proses saring (V60, Kalita Wave, dan lain-lain); tingkat keasamannya pun lebih rendah.

Proses pembuatannya memang sederhana. Tapi, dalam kata-kata para barista pada umumnya, teknik itulah yang “mempersilakan keelokan biji kopi unjuk diri, dengan caranya sendiri”.

Satu hal lagi yang khas pada kopi seduh dingin, terutama bagi mereka yang juga peduli terhadap kelestarian lingkungan: inilah pilihan yang bisa mengenyahkan stres akibat merasa berdosa, pilihan yang “hijau”, karena tak membutuhkan panas atau listrik, atau malah kertas.

Sebetulnya, dalam sejarah kopi yang tercatat, cara pembuatan minuman kopi dengan proses seduh dingin bukan hal baru. Di Jepang orang sudah mempraktekkannya empat-lima abad yang lampau. Di sana teknik ini disebut Kyoto-style, gaya Kyoto–tempatnya pernah populer pada 1600-an. Tapi ada yang menduga orang Jepang mempelajarinya dari saudagar-saudagar Belanda, yang berdatangan berkat adanya perjanjian dagang resmi antara Jepang dan Belanda pada 1609. Konon para saudagar itu menggunakannya sebagai cara agar kopi bisa dibawa berlayar.

Sepanjang abad berganti abad, gaya Kyoto berkembang dan menjadi kian berseni. Misalnya, alih-alih merendam bubuk kopi ke dalam air selama belasan jam, ditemukan cara lain: meneteskan air sedikit demi sedikit ke bubuk kopi; titik-titik air dibiarkan menerobos bubuk kopi secara bergiliran–ini saja sudah merupakan tontonan yang elok. Baru belakangan digunakan peralatan khusus yang konstruksi tiang-tiangnya, mungkin di mata orang yang menggemari The Lord of the Rings dan kebanyakan mendengarkan Radiohead, mirip menara Mordor.

Sesuatu yang tak baru itu, dalam beberapa waktu belakangan, terlihat menjadi tren. Orang mudah menjumpainya di berbagai kedai kopi. Atau di media sosial, dari akun para penjualnya; di lapak-lapak online; juga sebagai minuman yang dijajakan melalui jalan getok tular. Umumnya kopi-kopi dingin itu sudah berupa produk botolan; ada yang kopi hitam saja, ada yang sudah ditambah susu dan gula (aren) atau bermacam-macam rasa lainnya, termasuk minuman beralkohol–kalau mau. Beberapa jaringan kafe ikut pula meramaikan pasar.

Menyenangkan melihat kegairahan itu, apalagi di saat yang bertepatan dengan perayaan Hari Kopi Internasional–yang jatuh pada 1 Oktober. Kecenderungan yang sama terjadi bukan saja di sini. Di Amerika Serikat, tempat kopi seduh dingin populer bahkan sejak 10 tahun lalu, pun tiada henti pemain baru masuk ke gelanggang persaingan. Di Inggris, negara peminum teh yang konsumsi kopinya dalam 10 tahun terakhir bertambah 25 juta cangkir per hari (menjadi 95 juta cangkir), juga begitu. Starbucks, Costa, Caffe Nero, dan lain-lain. Di antara mereka ada yang memperkenalkan pula teknik mutakhir, yakni menginjeksikan nitrogen ke dalam tempat penyimpan kopi yang telah melalui proses seduh dingin.

Entah apakah kelak tekniknya bakal semakin canggih, menjadi seni yang derajatnya lebih tinggi lagi. Yang pasti, kehadiran kopi seduh dingin yang bertambah luas bisa membantu membongkar kepercayaan yang telanjur kukuh bahwa menyeduh dengan air panas adalah satu-satunya cara menghidangkan kopi. Di masa ketika listrik belum ada dan menyalakan api menuntut kerja yang bekeringat mungkin saja kopi seduh dingin justru merupakan standar.

Dan sama dengan kopi yang dihasilkan melalui teknik seduh panas, setiap orang sesungguhnya bisa pula membuatnya sendiri di rumah. Saya sesekali melakukannya–karena itulah saya bisa, saat sedang di atas sepeda dan bergelut dengan panas serta jarak di tengah jalan, membayangkan mengambilnya dari kulkas di rumah dan menenggaknya masih dalam keadaan segar untuk mengusir dahaga.

Penulis adalah wartawan, penyunting buku Jurnalistik Dasar: Resep dari Dapur Tempo, pernah menjadi Redaktur Pelaksana Tempo. Ia juga menulis tentang musik, kopi, dan sepeda di akun Facebook-nya.

Baca juga : Badan Siber dan Sandi Negara Akan Gandeng BIN, TNI, Polri

Bagikan
WordPress Image Lightbox