Buku Jurnalistik Dasar dari Tempo Institute, membongkar resep dari dapur Tempo. Membedah kaidah jurnalistik, kiat-kiat menulis, dengan menceritakan dinamika di ruang redaksi Tempo.
Siapa yang tak tahu jurnalisme Tempo yang kini telah berusia 46 tahun? Tempo seperti tak lekang karena panas. Dua kali media ini pernah dibredel pemerintah dan terbit kembali sejak 12 Oktober 1998 dan eksis hingga kini. Apa rahasia di balik dapur Tempo, baik majalah maupun koran dan online-nya?
Sebelum pembredelan pada 21 Juni 1994 yang sempat “menidurpanjangkan” Tempo selama empat tahun, laporan utama majalah ini selalu menguncangkan sosial-politik Indonesia karena liputannya yang tajam dan selalu menjadi trend setter pemberitaan nasional. Setelah terbit kembali, pasca-pembredelan 1994, Tempo memilih tak lagi menampilkan laporan utama. Tempo lebih memilih laporan investigatif sebagai kekuatan maupun ikonik baru.
Pilihan yang tak mudah. Apalagi topik-topik investigasi yang dilakukan Tempo sering kali menohok ke pokok persoalan dan kadang langsung menuding orang-orang maupun gerombolan yang bertanggung jawab di balik sebuah skandal. Jangan kaget bila pilihan ini yang membuat Tempo menjadi salah satu media yang kerap diadukan ke Dewan Pers.
Dalam sidang ajudikasi maupun mediasi di Dewan Pers, memang Tempo beberapa kali terbukti melakukan kesalahan dan pelanggaran Kode Etik Jurnalistik. Namun secara umum liputan-liputan Tempo dilakukan secara profesional dengan menerapkan standar jurnalisme yang tinggi. Tempo selalu memuat hak jawab, bahkan tak malu untuk meminta maaf kepada pihak yang dirugikan bila Dewan Pers menemukan adanya pelanggaran terhadap pemberitaan yang dipublikasikan Tempo. Dalam menghadapi panggilan Dewan Pers, jajaran redaksi Tempo juga menunjukkan sikap correct dan profesional di mana sang pemimpin redaksi sendiri yang memerlukan hadir.
Kantor Tempo juga pernah dilempari bom molotov.
Orang tahu bahwa Tempo tak hanya sering diadukan ke Dewan Pers, tapi juga kerap dilaporkan ke polisi. Bahkan Tempo juga beberapa kali digugat di pengadilan. Kantor Tempo juga pernah dilempari bom molotov. Gara-gara liputannya, sebuah BUMN juga pernah membatalkan iklan dalam nilai yang besar yang secara ekonomis sangat merugikan Tempo. Namun ibarat sebuah kapal, Tempo tak juga kunjung karam. Ditembaki, dibom, ditorpedo. Tempo sepertinya yakin yang harus dibelanya tak lain adalah jurnalisme kejujuran yang berorientasi pada kepentingan publik. Untuk mewujudkan hal itu, tak ada pilihan bagi Tempo mempraktekkan profesionalisme secara totalitas.
“Tempe: enak dibacem dan perlu”
Mengapa Tempo sangat menjunjung tinggi sikap profesional? Membaca buku ini, kita akan menemukan jawabannya. Orang-orang Tempo (sebut saja: entitas Tempo) agaknya berhasil menginstitusionalisasikan cita-cita dan semangat pendirinya untuk menciptakan jurnalisme bernas yang dulu menggunakan idiom “enak dibaca dan perlu”. Idiom yang dipelesetkan oleh Ben Anderson (almarhum) sebagai “Tempe: enak dibacem dan perlu”.
Pilihan penyajian model news feature merupakan pilihan tepat yang dipertahankan Tempo hingga kini. Namun, di luar format maupun pilihan jurnalisme, Tempo berhasil memba-ngun coorporate culture dan value yang berhasil bertahan hingga kini meskipun generasi pendirinya sudah tak ada lagi yang aktif, baik karena sudah meninggal maupun karena pensiun.
Melalui buku ini, Tempo membuka rahasia dapur miliknya di balik kualitas jurnalisme yang dihasilkannya. Mulai dari sejarah, kode etik wartawan, kriteria berita layak Tempo, menangkap ide, reportase, riset, wawancara, etape menulis, lead dan judul, kerangka tulisan, hingga teknis pembuatan laporan mendalam, investigasi, dan kolom opini.
Tempo juga mengungkap secara blakblakan rahasia dapur mereka dalam meramu sejumlah rubrik unggulan, termasuk tantangan yang dihadapi wartawan saat meliput di lapangan. Mulai dari liputan politik, ekonomi, kriminal, konflik, gaya hidup, olahraga, sains dan kesehatan, hingga seni.
Buku ini juga memberikan penjabaran yang gamblang mengenai desain visual ala Tempo, foto jurnalistik, dan infografis yang selama ini disukai publik. Jurnalisme Tempo kini juga merambah ke beberapa platform. Selain punya majalah dan koran, Tempo punya terbitan dalam bentuk online serta tayangan televisi.
Baca artikel lainnya: Tips Membuat Format Laporan yang Efektif
Buku yang merupakan pelengkap buku Seandainya Saya Wartawan Tempo ini layak dibaca bukan hanya oleh kalangan jurnalis, tapi juga akademikus dan mahasiswa komunikasi yang tertarik kepada jurnalisme. Namun jangan terlalu percaya diri, membaca buku yang merupakan rahasia dapur Tempo ini lantas tak mungkin kita bisa menjiplaknya. Karena jurnalisme Tempo ya memang milik Tempo. Tak mudah mengimitasinya.
***
Resensi buku ini ditulis oleh:
Yosep Adi Prasetyo (Ketua Dewan Pers RI).
Ditulis di Koran Tempo, Sabtu 28 April 2018, dengan judul “Jurnalisme tanpa Imitasi.“
Judul Buku: Jurnalistik Dasar Resep Dari Dapur TEMPO
Penulis: Bramantya Basuki dkk
Pengantar: Mardiyah Chamim
Tebal: ix + 250 halaman
Penerbit: Tempo Institute, Jakarta
Dapatkan buku di Tokopedia
Baca juga : Badan Siber dan Sandi Negara Akan Gandeng BIN, TNI, Polri