Oleh Purwanto Setiadi
Peter Wohlleben bukan sembarang jagawana. Sudah tiga dasawarsa bertugas, lelaki 54 tahun yang berpostur jangkung, mirip pohon-pohon yang dijaganya di hutan di Hummel, kawasan Pegunungan Eifel, bagian barat Jerman, ini bekerja lebih mirip ilmuwan. Dia mengamati dan meriset selama bertahun-tahun hutan yang berada di bawah pengawasannya. Berdasarkan ketekunan dan ketelitiannya, dia sampai pada kesimpulan bahwa pepohohan di hutan adalah makhluk sosial.
Pada Mei lalu lelaki yang tak biasa berbasa-basi itu menerbitkan edisi bahasa Inggris dari hasil kerjanya, sebuah buku, berjudul The Hidden Life of Trees: What They Feel, How They Communicate–Discoveries from a Secret World. Inilah karya yang bermula dari pemikirannya sepanjang satu dasawarsa terakhir setelah rutin, karena tugasnya, mengamati sistem yang memungkinkan hutan tua di pantai bagian barat Jerman bertahan hidup. Dia menyadari kekeliruan manusia yang, dalam kata-katanya, “melihat alam selama 100 tahun terakhir seakan-akan mesin”.
Berkat buku yang pertama kali diterbitkan dalam bahasa Jerman pada 2015 itu, hutan-hutan Jerman pun kembali menjadi pusat perhatian setelah lama nyaris diabaikan di dalam kesadaran kultural masyarakat di sana. Tapi, selain itu, buku yang sama telah melontarkan Wohlleben ke popularitas yang tak pernah dialami seorang jagawana: dia menjadi selebritas yang wira-wiri di berbagai media.
Popularitas lulusan sekolah kehutanan di Rottenburg am Neckar itu boleh dibilang wajar. Bukunya, yang mengingatkan orang pada pendekatan ala para penulis nonfiksi yang kini populer, seperti Malcolm Gladwell dalam kajian sosiologi, Yuval Noah Harari dalam telaah antropologi, dan Nassim Nicholas Taleb dalam studi ekonomi, sejauh ini masih bercokol di daftar buku-buku paling laris. Pendekatan itu berupa pengungkapan hubungan sebab akibat yang tak terduga.
Temuan Wohlleben memang membuat senang pembaca bukunya dan audiens talk show yang dihadirinya. Dia bagaikan pembawa kabar gembira yang penuh kegairahan: bahwa pepohonan bisa menghitung, belajar, dan mengingat; merawat tetangganya yang sakit; saling memperingatkan jika ada bahaya, dengan mengirimkan sinyal listrik ke jaringan jamur yang disebut sebagai “wood-wide web”; dan, untuk alasan yang tak diketahui, mempertahankan tunggul dari tetangga yang telah lama tumbang tetap hidup selama berabad-abad dengan memberi cairan gula melalui akarnya.
Memang, sebetulnya ada kritik dari kalangan ahli biologi, meski mereka mengakui terkesan pada temuan Wohlleben. Mereka, misalnya, mempersoalkan penggunaan kata-kata yang tak lazim–seperti “bicara” ketimbang yang lebih standar, “berkomunikasi”–untuk menggambarkan apa yang terjadi antarpohon di hutan.
Tetapi Wohlleben punya pembelaan: bahwa memang itulah tujuannya. Dia mengaku sengaja menggunakan bahasa yang sangat manusiawi–yang menjadikan buku itu, dalam kesan pembaca, terasa hangat dan menyentuh. Dia beralasan bahasa sains cenderung meniadakan emosi, dan orang jadi tak memahaminya lagi. “Manakala saya berkata, ‘pohon menyusui anak-anaknya,’ siapa pun serta-merta tahu apa yang saya maksud.”
Ketika baru sebulan diluncurkan, penjualan edisi bahasa Inggris buku itu cepat menembus angka 300 ribu eksemplar–dan menjadikannya nomor satu di daftar buku nonfiksi paling laku. Kini, ditambah edisi mewah yang dilengkapi foto-foto spektakuler, belum diketahui angka mutakhir penjualannya. Tapi posisinya yang masih berada di daftar terlaris sejauh ini menunjukkan betapa Wohlleben berhasil mengirimkan pesan yang sangat kuat. Siapa saja, di mana pun dia berada, patut menyimak dengan takzim testimoni Markus Lanz, host sebuah acara talk show populer di Jerman yang sempat mewawancarai Wohlleben, ini: “Dengan bukunya, dia mengubah cara saya melihat hutan. Setiap kali saya berjalan di dalam hutan yang cantik, saya memikirkannya.”
Hutan memang elok. Itulah sebabnya kita semua, di negeri dengan hutan yang merupakan paru-paru dunia ini, tampaknya perlu membaca buku yang menurut rencana akan diterjemahkan di 19 negara itu. Memperhatikan apa yang dilakukan sejauh ini, menyaksikan kerusakan yang sudah telanjur terjadi di hutan-hutan di Sumatera, di Kalimantan, di pulau-pulau lainnya, kita sungguh-sungguh memerlukan stimulus yang bisa memunculkan kesadaran bersama yang kuat untuk merawat pohon-pohon yang kita miliki dengan sebaik-baiknya–seperti yang seharusnya terjadi di antara sesama makhluk sosial.
Penulis adalah wartawan, penyunting buku Jurnalistik Dasar: Resep dari Dapur Tempo, pernah menjadi Redaktur Pelaksana Tempo. Ia juga menulis tentang musik, kopi, dan sepeda di akun Facebook-nya.
Baca juga : Badan Siber dan Sandi Negara Akan Gandeng BIN, TNI, Polri