Home   Blog    Jurnalisme  Komunikasi  Media Massa
Menulis

  Monday, 16 October 2023 14:12 WIB

Cara Khusus Meliput Kasus yang Melibatkan Anak-Anak

Author   Digital Marketing

Ilustrasi liputan wartawan

Seorang jurnalis tidak boleh sembarangan menuliskan identitas seorang anak yang terlibat dalam suatu kasus. Aturan ini sudah ada dalam Pedoman Pemberitaan Ramah Anak yang diatur dalam Peraturan Dewan Pers No 1 Tahun 2019. Di dalam pedoman ini, dijelaskan bagaimana cara seorang jurnalis meliput kasus yang melibatkan anak-anak.

Ada banyak kejadian, di mana media malah eksploitasi pemberitaan yang berkaitan dengan anak-anak. Sering kali mereka lupa untuk menyamarkan identitas anak, dan justru membuatnya menjadi fokus pemberitaan. Jika gaya peliputan semacam ini diteruskan, akan menimbulkan trauma psikis pada anak, terlebih jejak digital yang makin mudah diakses oleh siapa saja.

Untuk melindungi nasib anak-anak yang terlibat berbagai kasus, seperti kekerasan, pemerintah Indonesia sudah membuat peraturan terkait. Seperti UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, juga dalam ranah jurnalistik dengan Pedoman Pemberitaan Ramah Anak.

Sebuah studi dari Eka Megawati dan Husen Mony yang berjudul Etika Penulisan Berita Korban Kejahatan Susila dan Anak Pelaku Kejahatan di Media Sosial (2020), menemukan “dari 111 wartawan yang melanggar ketentuan Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik, dalam penulisan beritanya, sebanyak 13 yang sudah memiliki sertifikasi kompetensi dari Dewan Pers, 65 belum bersertifikat, 33 lainnya tidak terlacak karena menggunakan nama inisial.”

Temuan tersebut cukup mencengangkan, lebih dari 50 persen jurnalis yang menjadi sampel dalam penelitian itu sudah tersertifikasi oleh Dewan Pers. Itu menunjukkan jika keseriusan jurnalis dalam melindungi identitas anak-anak yang terlibat kasus, entah itu kriminal atau kekerasan, masih diragukan. Bagi Anda yang masih bingung bagaimana cara meliput kasus yang melibatkan anak-anak, bisa menerapkan beberapa tips berikut ini:

1. Menghormati Privasi Anak

Menghormati privasi narasumber merupakan etika yang harus diterapkan oleh seorang jurnalis. Begitu pula ketika meliput kasus yang melibatkan anak-anak. Walau mereka tampak tidak memiliki kuasa untuk melawan, anak-anak juga memiliki hak untuk dijaga privasinya, bahkan jika anak tersebut adalah terduga pelaku. Seperti yang disebutkan dalam poin pertama Pedoman Pemberitaan Ramah Anak, “Wartawan merahasiakan identitas anak dalam memberitakan informasi tentang anak, khususnya yang diduga, disangka, didakwa melakukan pelanggaran hukum atau dipidana atas kejahatannya.”’

Seorang jurnalis juga tidak disarankan untuk mencari atau menggali informasi yang berada di luar kapasitas anak. Misalnya dalam kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), di mana anak bisa menjadi saksi. Dalam menggali informasi, jurnalis tidak boleh semberono mewawancarai anak tanpa pendampingan ahli atau pihak berwajib.

2. Tidak Sembarangan Membongkar Identitas Anak

Dalam studi yang sama (Megawati dan Mony, 2020), pelanggaran yang banyak dilakukan oleh jurnalis media online dalam memberitakan pemberitaan anak ialah penyebutan identitas anak pelaku kejahatan, “seperti pemuatan foto yang menampilkan wajah pelaku dengan jelas pada foto jurnalistik, informasi tentang nama asli pelaku.”

Menurut Pedoman Pemberitaan Ramah Anak, identitas yang harus dilindungi dari seorang anak yang terlibat dalam sebuah kasus ialah, nama, foto, gambar, nama saudara, orang tua, paman/bibi, kakek/nenek. Jurnalis juga tidak bisa sembarangan menuliskan informasi personal lain, seperti alamat rumah, alamat desa, sekolah, perkumpulan/klub yang diikuti, juga benda-benda khusus yang dapat mencirikan anak yang bersangkutan.

3. Posisikan Diri sebagai Anak, dan Berempati

Cara meliput kasus yang melibatkan anak selanjutnya ialah memposisikan diri sebagai anak-anak, dengan menanamkan rasa empati dalam diri. Seorang jurnalis harus memiliki empati. Jurnalis tanpa empati, tidak akan segan mengungkap segala informasi pribadi anak, tak peduli sebagai korban atau tersangka. Imbasnya, citra jurnalis akan rusak, menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap jurnalis, juga akan berdampak pada anak yang diberitakan.

Untuk mengasah kemampuan berempati, Anda bisa mengikuti berbagai kegiatan sosial yang melibatkan anak. Di sana, Anda bisa berinteraksi dengan anak secara langsung dan mengetahui bagaimana pola pikir mereka yang masih polos. Atau, Anda bisa membayangkan berada dalam posisi anak tersebut. Jika dirasa sulit, Anda bisa meminta bantuan ahli, seperti psikolog anak atau jurnalis senior yang berfokus pada isu tersebut.

Untuk aturan lengkap mengenai cara meliput kasus yang melibatkan anak, Anda bisa mengakses Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan-DP/II/2019 dan mempelajari UU Perlindungan Anak, juga Kode Etik Jurnalistik (KEJ).

Baca juga : Badan Siber dan Sandi Negara Akan Gandeng BIN, TNI, Polri

Bagikan
WordPress Image Lightbox