Home   Blog    Jurnalisme
Komunikasi

  Saturday, 31 July 2021 07:33 WIB

Agar Tidak Menjadi Jaka Sembung Bawa Golok

Author   Tempo Institute

Photo by Yanalya on Freepik

Kita sering banget ngikutin “perang” di media sosial seperti Twitter. Biasanya dua kubu yang sedang berargumen saling melemparkan opini atau pendapat dan penafsiran (interpretasi) terhadap suatu masalah. Sering juga kita mengiyakan atau membenarkan, bahkan kagum, dengan opini yang dibangun oleh salah satu pihak yang sedang berperang tersebut.

Sayangnya, banyak opini buruk yang disebabkan oleh tidak relevannya opini dengan bahasan yang sedang dibicarakan. Kalau kata orang, “Jaka Sembung bawa golok, gak nyambung, bok.” Banyak opini yang gak nyambung dengan masalah yang sedang dibahas. Masalahnya, kita sering enggak sadar kalau opini yang diajukan itu gak nyambung.

Supaya kita tidak terbawa oleh opini yang gak nyambung tadi, kita bisa mengujinya dengan melihat apakah opini atau argumen itu masuk dalam red herring fallacy. Apa itu red herring fallacy?

Apa itu red herring fallacy?

Nama teori ini diambil dari kegemaran para bangsawan Inggris berburu. Dalam berburu, mereka biasanya menggunakan anjing untuk mengendus dan melacak di mana kelinci bersembunyi. Sayangnya, seringkali perhatian anjing-anjing pemburu ini teralihkan oleh bau lain yang lebih menarik, misalnya bau ikan.

Nah, untuk melatih anjing-anjing pemburu agar tetap fokus ini, para pelatih kerap menggoda para anjing dengan ikan red herring. Anjing yang tidak terlatih biasanya akan teralihkan dan justru mengikuti bau ikan tersebut. Sementara anjing yang terlatih biasanya akan tetap fokus mengendus bau kelinci yang dituju.

Dalam argumentasi atau perdebatan, kita diibaratkan seperti anjing pemburu. Apakah kita tetap fokus pada topik yang dibicarakan atau teralihkan ke topik lainnya. Hal ini karena banyak orang melemparkan topik yang berbeda dengan tujuan agar fokus masyarakat teralihkan.

Contoh, majalah Tempo menurunkan tulisan tentang pemerintah, terutama pemerintah daerah, yang kerap mengecilkan data penderita Covid-19. Tujuannya adalah agar daerahnya terkesan berhasil menangani pandemi dan karenanya tidak perlu melaksanakan pembatasan.

Kubu pro-pemerintah seharusnya melawan opini ini dengan menyajikan data yang membantah opini tersebut. Misalnya, informasi yang menyatakan bahwa data yang dilansir oleh pemerintah daerah itu adalah data yang benar, bukan dikecil-kecilkan.

Namun, dalam perdebatan kerap yang disajikan bukan data tersebut. Untuk membalas kritik tersebut dengan mereka menghadirkan opini baru tentang hal-hal positif yang sudah dilakukan oleh pemerintah, misalnya soal dana bantuan sosial dan pelaksanaan vaksinasi yang dianggap berhasil.

Membantah pengerdilan data dengan informasi soal bantuan sosial adalah red herring fallacy. Kenapa? Karena balasan kritik itu sebenarnya tidak membantah adanya pengerdilan data. Mereka justru melemparkan isu yang berbeda, yaitu soal penyaluran dana bantuan sosial. Kalau dianalogikan dengan pelatihan anjing pemburu, soal pengerdilan data adalah kelinci yang harus diburu, sedangkan dana bansos adalah ikan red herring yang dipakai untuk mengalihkan perhatian.

Hal seperti tadi di atas sering terjadi di dunia politik. Para politikus beradu pendapat tentang sebuah kebijakan. Namun, banyak opini atau premis dalam penyusunan opininya jauh dari kata “nyambung” dengan kebijakan tersebut. Hal ini pun bisa merusak reputasi sang politikus secara tidak langsung.

Karenanya, penting untuk tetap fokus dalam beropini. Tentu kita harus melatihnya. Dalam membuat tulisan opini, seorang penulis harus fokus pada topik yang dibicarakan dan tidak membantahnya dengan topik yang berbeda. Awalnya, memang tidak mudah dan perlu memahami lebih secara intensif. Namun, jika Anda tidak memulai sekarang, kapan lagi untuk memulai elaborasi opini yang relevan. 

Baca juga : Badan Siber dan Sandi Negara Akan Gandeng BIN, TNI, Polri

Bagikan
WordPress Image Lightbox