Hampir setiap instansi, baik pemerintah, swasta, hingga organisasi atau kelompok, pernah membuat dan menulis siaran pers. Keberadaan siaran pers ini menjadi penting dalam sebuah kelompok yang terorganisir dan membutuhkan dukungan dari publik. BBC menyebutkan jika siaran pers ini memiliki beberapa tujuan, di antaranya untuk menyampaikan pesan, menjaga reputasi dan membangun citra, meningkatkan kesadaran publik akan satu isu tertentu, atau bisa juga untuk mempromosikan suatu produk.
Secara tujuan, menulis siaran pers tidak jauh berbeda dengan membuat konten media sosial. Perbedaan yang paling mencolok antara siaran pers dengan konten-konten media sosial resmi dari instansi atau kelompok tertentu, adalah kebakuan dan kekakuannya. Banyak yang mengira siaran pers itu monoton, kurang fleksibel serta identik dengan hal-hal baku dan kaku. Persepsi itu muncul karena kehadiran siaran pers menyangkut reputasi. Semua instansi, perusahaan, organisasi atau kelompok-kelompok yang ada di luar sana, pasti menginginkan reputasi yang bagus, membangun citra yang baik dan terpercaya, karena sangat penting untuk menjaga kepercayaan publik.
Lalu, apakah menjaga reputasi baik dengan menulis siaran pers yang ‘saklek’ di zaman sekarang ini, masih related? Sebelum menjawab pertanyaan ini, kita harus memahami dulu apa itu siaran pers dan bagaimana alurnya.
PR Newswire menjelaskan, definisi siaran pers yaitu pernyataan resmi yang memberikan informasi tentang peristiwa penting kepada publik melalui media pers. Sehingga, siaran pers tidak melulu soal klarifikasi satu instansi saja, tapi juga melibatkan media pers. Menurut laporan State of Media 2024, siaran pers masih menjadi sumber daya bagi para jurnalis dalam menulis berita mereka. Umumnya, siaran pers ditulis oleh public relation (PR) atau hubungan masyarakat (humas) di suatu instansi. Setelah mendapat persetujuan dari atasan terkait, siaran pers akan didistribusikan kepada media-media pers untuk dimuat ke media mereka. Apakah siaran pers dimuat atau tidak, atau perlu dirombak dan hanya diambil secuil saja? Itu sudah menjadi kebijakan masing-masing redaksi media.
Tak sedikit siaran pers yang telah dibuat dan dikirim oleh PR, apapun tujuannya. Tapi, belum tentu semua media mau memuat siaran pers tersebut. Bisa jadi karena kurangnya informasi yang diperoleh dari siaran pers, terlalu banyak muatan promosi, hingga alasan tata bahasa yang sulit dipahami karena terlalu ‘saklek’, ruwet dan rawan blunder. Lalu bagaimana cara menulis siaran pers yang ramah media dan publik?
Berikut beberapa tips cara menulis siaran pers anti ruwet dan blunder, tapi tetap bisa menjaga reputasi dan berdampak ke publik:
Sebelum memulai sesuatu, langkah awal yang harus disiapkan adalah tujuan. Begitu juga dengan menulis siaran pers. Apa tujuannya? Apakah hanya untuk memenuhi tugas saja? Atau ada informasi yang harus disampaikan ke publik? Atau siaran pers ditulis untuk klarifikasi atas peristiwa yang melibatkan instansi atau perusahaan? Humas Indonesia menyebutkan ada tujuh jenis siaran pers sesuai dengan tujuannya:
Setelah mengetahui tujuan, analisa kebutuhannya, lakukan riset dan berdiskusi dengan sejawat atau atasan.
Merasa cukup dengan hasil riset dan diskusi, sekarang waktunya untuk menulis. Tahap awal menulis siaran pers yaitu judul. Jika memang tujuan siaran pers untuk memberikan informasi kepada publik, maka tariklah perhatian publik dengan judul yang menarik. Di zaman yang serba cepat dan tren yang silih berganti, siaran pers harus mampu beradaptasi. Jangan terjebak dengan judul yang terlalu baku dan kaku, sehingga membuat publik malas untuk mencari tahu.
Di zaman serba cepat, ketertarikan publik untuk membaca tulisan panjang di media menurun. Makin banyak orang lebih tertarik melihat video pendek dibanding membaca siaran pers yang berisi banyak paragraf. Belum lagi, kalau isinya ruwet. Siapa yang mau baca? Nah, untuk mengurangi risiko terabaikan, jangan menulis siaran pers terlalu panjang. Cukup tiga paragraf dengan jumlah kata tak lebih dari 400 kata.
Jika ingin siaran pers yang sudah ditulis dimuat oleh media pers, maka tulisalah informasi yang faktual. Ini akan memudahkan media pers dan membantu menjaga relasi antara instansi/perusahaan dengan media pers. Namun perlu diperhatikan, informasi faktual apa saja yang boleh dibagikan kepada publik, mengingat setiap instansi/perusahaan memiliki ketentuan masing-masing. Berdiskusi dengan atasan terkait akan mempermudah menulis siaran pers yang faktual tapi tetap dalam pengawasan yang tepat.
Sekarang ini, menyertakan foto atau video sudah seperti kewajiban. Publik akan lebih percaya sebuah informasi apabila disertakan foto atau video yang berkaitan. Ini bisa menjadi salah satu cara agar informasi dalam siaran pers tersampaikan ke publik dengan baik.
Setelah selesai menyusun dan menulis siaran pers seperti tips di atas, tahapan yang tidak boleh dianggap remeh selanjutnya ialah pendistribusian. Pilih media pers yang sesuai tujuan siaran pers, sehingga besar kemungkinan akan dimuat.
Tempo Institute yang masih menjadi bagian dari media Tempo, tentu memahami bagaimana penulisan siaran pers yang ramah media dan tidak ruwet. Pelatihan terdekat adalah kelas hibrida Menulis Siaran Pers Ramah SEO yang bisa diikuti langsung di kantor Tempo atau secara online. Dengan metode belajar experiential learning yang dirancang menyenangkan: peserta akan belajar dari pengalaman yang nyata, kaya akan praktik, intensif, dan interaktif dengan pendampingan oleh wartawan Tempo. Klik banner di bawah ini untuk pelajari lebih lanjut.
Baca juga : Badan Siber dan Sandi Negara Akan Gandeng BIN, TNI, Polri