Dalam informasi dari Resolving Ethical Conflicts in Wartime milik Society of Professional Journalists (SPJ) menjelaskan etika jurnalisme terkait tugas dan kewajiban utama jurnalis dalam peliputan konflik dan perang adalah mencari kebenaran dan melaporkannya, meminimalkan kerugian, bertindak independen, dan bertanggung jawab.
Namun, tugas dan kewajiban tersebut seringkali berhadapan dengan sentimen patriotik pihak yang berseteru, kepentingan dan strategi kedua belah pihak, serta sensitivitas kultural di mana konflik tersebut terjadi.
Dalam meliput perang jurnalis dipastikan mendapatkan perlindungan secara hukum humaniter atau hukum perang sebagaimana tercantum dalam beberapa konvensi internasional, seperti Konvensi Jenewa III 1949 serta Protokol Tambahan I 1977.
Pelanggaran HAM terhadap jurnalis saat meliput perang merupakan kejahatan perang. Meski demikian, mengingat situasi perang yang sangat kompleks, meliputnya akan selalu punya resiko tinggi dan mengancam nyawa.
Setiap kantor media yang akan mengirimkan awak jurnalisnya untuk meliput perang wajib memiliki persiapan yang matang, baik itu secara teknis maupun pilihan etis. Ia harus punya intensi yang jelas berkaitan dengan bagaimana meliput dan mempublikasikan informasi yang didapatkan. Berikut ini beberapa hal etis yang wajib dipertimbangkan jurnalis saat meliput perang:
Abeer Saady seorang ahli media yang memiliki pengalaman 27 tahun meliput di daerah konflik menjelaskan, hal pertama yang harus dipertimbangkan dalam meliput perang ialah, pengetahuan akan konteks konflik dan hubungan para pihak yang berselisih terutama kelompok bersenjatanya, dengan para jurnalis. Setiap jurnalis yang meliput perang harus sadar meski bekerja di tempat yang sama bukan berarti memiliki situasi dan kepentingan yang serupa dengan mereka.
Identitas yang melekat pada jurnalis seperti kebangsaan atau etnis, bahasa yang digunakan, dan dari media mana ia berasal, akan mempengaruhi perlakuan kelompok bersenjata kepada seorang jurnalis. Pengetahuan tersebut sangat penting karena berkaitan langsung dengan keselamatan jurnalis dalam menunaikan tugasnya di situasi perang.
Dalam situasi perang, pihak yang terlibat dan terdampak bukan hanya pemerintahan atau kelompok bersenjata yang berselisih. Pihak yang juga terlibat bahkan paling terdampak adalah masyarakat sipil yang terjebak dalam wilayah konflik. Salah tugas utama jurnalis ialah di wilayah perang ialah turut mengabarkan tentang apa yang bisa dilakukan masyarakat sipil, dan bagaimana situasi yang mereka hadapi. Jurnalis harus membuktikan bahwa ada masyarakat sipil di wilayah perang yang perlu mendapatkan perlindungan.
Salah satu dilema yang kerap dialami jurnalis di medan perang ialah dilema “menyelamatkan atau tidak”. Situasi dimana adanya bahaya terhadap masyarakat sipil atau kolega sesama jurnalis di sekitar tempat ia meliput. Dalam mengatasi dilema tersebut Aber Saady mengajukan tiga pertanyaan yang bisa dipertimbangkan para jurnalis sebelum mengambil tindakan.
“Apakah kamu sendiri juga dalam bahaya?”
“Apakah ada pihak lain yang bisa menolong?”
“Apakah kamu bisa meliput apa yang terjadi sembari menolong?”
Secara etis menurut Saady penting untuk mengutamakan keselamatan pribadi, terutama jika ada pihak lain yang bisa menolong seperti tentara atau tenaga medis. Baru di saat tidak ada bahaya terhadap keselamatan diri dan orang lain, seorang jurnalis bisa langsung bertindak menolong.
Hal ini tidak hanya soal keselamatan pribadi saja, mengorbankan diri juga bisa berarti kehilangan liputan penting tentang peristiwa atau kekejaman yang sedang berlangsung. Liputan tersebut sangat penting dan bisa menolong orang lain.
Tugas yang sangat sensitif bagi seorang jurnalis di wilayah perang ialah mewawancarai para penyintas. Pengalaman traumatis akan perang seorang penyintas harus disadari oleh jurnalis sebelum mewawancarai mereka. Jangan sampai proses wawancara justru menambah trauma yang mereka alami.
Untuk itu jurnalis perlu secara jelas dan tenang menjelaskan intensi wawancara, dari media mana jurnalis berasal, dan penjelasan bahwa wawancara ini akan dipublikasikan.
Pertanyaan seperti “apa yang Anda rasakan?” harus dihindari karena bisa menjadi pertanyaan yang sulit dijawab dan traumatis. Wawancara bisa dimulai dengan pertanyaan fakta seperti tanggal dan waktu kejadian, atau apa yang dilihat dan didengar narasumber.
Jurnalis dan kantor media di mana ia berasal wajib punya pertimbangan yang jelas dalam mempublikasikan liputannya. Hasil wawancara, foto, video footage atau informasi apapun yang akan dipublikasikan harus bisa dipertanggung jawabkan dan sadar akan dampak yang bisa ditimbulkan.
Konten yang mengandung glorifikasi kekerasan dan kekejaman harus dihindari untuk dipublikasikan. Segala pertimbangan tersebut sangat penting agar apa yang disampaikan tidak menimbulkan kekerasan yang lebih lanjut.
Kamu juga bisa belajar lebih dalam tentang berbagai jenis penulisan bareng Tempo Institute.
Yuk, ikuti dan daftar diri kamu di kelas selengkapnya di Menulis Opini: Menembus Meja Redaksi (tempoinstitute.com)!
Baca juga : Badan Siber dan Sandi Negara Akan Gandeng BIN, TNI, Polri