Home   Blog  
Jurnalisme

  Monday, 24 November 2025 10:02 WIB

Contoh Feature Human Interest yang Menyentuh Hati Pembaca

Author   Raden Putri
Contoh Feature Human Interest yang Menyentuh Hati Pembaca

Feature human interest merupakan salah satu bentuk jurnalisme naratif yang kerap digunakan untuk menyampaikan informasi secara mendalam dan menyentuh melalui gaya bercerita hangat dan humanis. Jenis tulisan ini biasanya ringan, dekat dengan kehidupan sehari-hari, dan menghadirkan sisi kemanusiaan yang sering kali luput dari pemberitaan.

Promo Jelang Akhir Tahun

Tujuan dari penulisan berita feature human interest adalah untuk menggugah perasaan pembaca, membangkitkan haru, empati, atau simpati mendalam. Gaya penyampaiannya personal, membuat pembaca merasa seolah ikut mengalami perjalanan tokoh yang diceritakan, sehingga tercipta kedekatan emosional.

Lebih lanjut, berikut ini adalah contoh feature human interest yang menyentuh hati pembaca.

3 Contoh Feature Human Interest

Sama seperti berita, feature juga disusun dengan metode piramida terbalik. Jadi, bagian pentingnya ditulis di bagian awal dan dilengkapi oleh tulisan-tulisan pendukungnya.

Adapun struktur dari jenis jurnalisme naratif ini adalah lead atau kalimat pembuka, bridge (jembatan) sebagai perantara lead dan tubuh artikel, tubuh yang berisi situasi dan proses suatu peristiwa terjadi, dan penutup yang berisi pesan mengesankan.

Berikut adalah beberapa contoh feature human interest dari Tempo. 

1. Contoh Feature: Malam Terakhir di Bukit Duri 

Lorong gang permukiman di bantaran Kali Ciliwung itu tampak seperti tak dihuni. Pukul setengah satu dini hari, Rabu, 28 September 2016, angin kencang menusuk tulang, jalanan becek sisaan hujan. Deretan rumah di kanan-kiri diterangi lampu jalan putih temaram.

Sebagian rumah masih berdiri tegak, sebagian lagi telah roboh dan terbongkar. Di poskamling oranye yang berjarak 500 meter dari mulut gang, Daliman, 42 tahun, dan keluarganya terbaring.

Raut wajah pria yang bekerja sebagai tukang potong ayam itu terlihat lelah. Di sisi kirinya, istri dan anak laki-lakinya tidur berselimut kain batik tipis. Dua tas besar dijadikan bantal. Ini malam terakhir rumahnya berdiri tegak.

Daliman dan keluarga memilih bermalam di lokasi eksekusi. Permukiman RT 5/RW12 Bukit Duri, tempat tinggalnya selama belasan tahun, akan diratakan pukul 7, Rabu pagi. “Saya baru beres pindahan ke kontrakan baru, sengaja tidur di sini mau liat rumah saya dieksekusi,” katanya di pagi yang gelap dan dingin itu.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menggusur kawasan Bukit Duri setelah surat pemberitahuan ketiga dilayangkan. Penggusuran itu, kata Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, merupakan rangkaian proyek normalisasi Kali Ciliwung. Namun penggusuran itu banyak mendapatkan perlawanan, dan didukung tokoh seperti Romo Sandyawan dan Jaya Suprana.

Daliman menunjuk rumah bercat hijau satu lantai, tepat di seberang poskamling, tempatnya menghabiskan sisa malam. Pria berkaus hitam dengan celana pendek cokelat itu sudah pasrah. “Pemerintah ke rakyat kecil kurang kebijaksanaannya, nggak kasihan,” ujar dia sembari mengelus dada.

Tak pernah dia bayangkan akan terusir dari rumahnya sendiri, tanpa ganti rugi. Daliman pun enggan mengambil jatah rusun Rawabebek, satu-satunya opsi yang diberi. “Saya sudah terlanjur kesal.”

Daliman kecewa diperlakukan semena-mena sebagai warga negara. Padahal setiap tahun pajak bangunan rumahnya tak lupa dia setor, namun kata dia kini seolah tak ada artinya.

Kedatangan mesin dengan tangan-tangan besi amunisi penggusuran sejak sore ditambah kepungan puluhan aparat, tak memungkinkan perlawanan.”Percuma lawan secara fisik nggak bakal menang,” ujarnya.

Daliman dan para tetangganya sepakat menempuh jalur hukum di pengadilan. Berbekal sertifikat lahan miliknya, dia percaya keadilan itu masih berdiri. “Saya punya bekal kuat, mudah-mudahan dapat ganti rugi.”

contoh feature human interest

2. Contoh Feature: Pasang-Surut Rezeki Anyaman Rotan

Tangannya yang mungil tampak lincah menganyam rotan. Di usia yang memasuki 68 tahun, Bardin duduk di lantai sambil sesekali membetulkan letak kacamatanya. Ia ditemani anak perempuannya. Keduanya menganyam rotan untuk dijadikan tikar, lalu dijual kepada pemesan.

Bardin belajar membuat tikar berbahan rotan sejak berusia 5 tahun. Ia melakukannya di dalam rumahnya yang hanya seluas 50 meter persegi. “Saya belajar ini dari melihat ibu saya sejak kecil,” ucapnya saat ditemui di rumahnya, Desa Pulau Keladan, Kecamatan Mentangai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, Rabu, 7 September 2016.

Dia mengatakan tidak banyak yang bisa dihasilkan dari membuat tikar. Bagi Bardin, harga jual tikarnya dengan tingkat kesulitan yang ia alami dalam pembuatan masih tidak sebanding. Selain itu, dibutuhkan bahan dasar rotan yang tidak sedikit untuk menghasilkan satu tikar.

Bardin hanya membuat tikar dari rotan ketika ada pesanan datang. Jika tidak, ia hanya membuat untuk dipakai oleh keluarganya sehari-hari. Dalam satu bulan, biasanya dia hanya mendapatkan satu pesanan. Tikar ukuran sedang buatannya ia hargai Rp 1 juta.

Dengan posisi duduk bersila di depan tikar yang sedang ia anyam, Bardin bercerita tentang pembuatan tikar dari rotan. Ia bercerita, untuk membuat satu tikar ukuran besar, dibutuhkan waktu selama satu bulan pembuatan dan 70 batang rotan ukuran 4 meter.

Selain itu, kerumitan dalam proses memberi motif pada tikar adalah tantangan sendiri bagi Bardin di usianya yang sudah senja. Dia lantas mengambil contoh tikar yang sudah jadi untuk membantunya menjelaskan. “Lihat nih, ada motifnya, ada warnanya. Ini sulit,” ujarnya.

Anak perempuan Bardin yang sedang membantunya, Ita, 30 tahun, mengatakan untuk pewarnaan, tikar harus direndam dengan daun kayu selama beberapa saat. Dan untuk membuat motif kail, yang sering dibuat ayahnya, memiliki tingkat kesulitannya sendiri.

Seakan mengiyakan perkataan anaknya, Bardin menunjuk motif kail di tikar tersebut dan mengatakan memang sulit membuat motif kail seperti itu. “Karena itu, kan, harus menyambung dengan yang di bawahnya,” ucap Bardin.

Karena tingkat kerumitannya itu, Bardin membanderol tikar bermotif dengan harga dua kali lipat dari harga tikar tanpa motif. “Ya, saya jual yang motif itu seharga Rp 2 juta biasanya,” ucap Bardin.

Kini di usianya yang senja, Bardin mengaku sudah menurunkan keahlian menganyam tikar kepada empat anaknya. Ia mengaku anak-anaknya secara bergantian sering membantunya mengerjakan tikar pesanan para konsumen. “Utamanya sih saya ngajar ke anak laki-laki,” ujarnya.

3. Contoh Feature: Rumah Ramah di Pinggir Kali Ciliwung

Rumah-rumah tiga tingkat itu berbeda dari bangunan di sekitarnya. Warga menyebutnya sebagai rumah contoh Kampung Tongkol. Hunian ini beralamat di RT 07 RW 01 Kelurahan Ancol, Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara, di tepi anak kali Ciliwung.

Bangunan terdiri dari empat petak rumah yang berdempetan. Lantai satunya berdinding susunan batu bata, tanpa diplester semen. Di tiap dinding tersebut, ada sebuah pintu untuk keluar-masuk penghuni rumah, dan sebuah tingkap.

Lantai dua dan tiga, bangunan ini didominasi bahan bambu dan kayu. Uniknya, hanya ada satu tangga untuk empat petak rumah. Letaknya di bagian belakang. Mereka juga berbagi kamar mandi. “Rumah ini memiliki konsep sharing ruang di lahan sempit,” kata Kamil Muhammad di lokasi rumah contoh itu, Sabtu, 23 April 2016.

Kamil adalah salah satu arsitek yang mendesain rumah tersebut. Kamil dan enam kawannya merancang rumah empat petak di atas tanah 8,5 x 4,5 meter. Walhasil, berdirilah sebuah rumah dengan luas 2,8 x 4,5 meter dan tiga petak lainnya masing-masing berukuran 1,7 x 4,5 meter.

Tanah di sekitarnya masih jembar. Namun, hunian di sana harus berdiri dengan jarak lima meter dari kali. Sedangkan tanah di belakang rumah milik Kodam Jaya. Di halaman belakang juga berdiri tembok sisa benteng.

Warga yang menempati gedung itu bersedia berbagi tangga dan kamar mandi agar tak memakan banyak tempat. Menurut Kamil, rumah di atas tanah tersebut awalnya sudah nyaris rubuh. Bahannya hanya kayu dan lembaran tripleks. “Sudah nggak layak, jadi kami robohkan,” kata anggota komunitas Arsitektur Swadaya dan Fasilitasi ini.

Namun, material kayu-kayu bekas tersebut dipakai lagi. Misalnya, menjelma rangka lantai. Tangga kayu yang terpasang sekarang juga bekas bangunan aslinya. “Banyak barang-barang sisa. Bambu yang berlebih misalnya, dijadikan kisi-kisi pintu dan jendela,” ujar Kamil.

Penggunaan kayu dan bambu juga dipilih karena mereka ingin menjadi rumah contoh yang ramah lingkungan. “Alasan teknisnya agar memperingan beban,” kata pemuda 31 tahun ini. Bukti lain dari ramah lingkungan adalah adanya got di depan rumah. “Pemakaian phase septic tank adalah komponen yang mengarah ke lingkungan yang lebih baik.”

Angin bisa masuk melalui celah kayu dan bambu. Atap tak memakai bahan seng, melainkan berbahan plastik dan baja sehingga ruangan jadi lebih adem.

Rumah ini dibangun sejak Oktober 2015 hingga Januari 2016. Proses pendirian bangunannya sudah selesai. “Tapi secara konsep yang lebih luas, masih terus bergerak,” ujar Kamil. Misalnya, tanaman di halaman rumah terus bertambah. Jalanan pun masih butuh perbaikan.

Rumah contoh ini juga menganut sistem partisipatif. Waktu pengerjaan awal, kata Kamil, warga di sekitar rumah turut membantu membongkar bangunan asli. “Karena bahannya bambu, kami mengundang kawan-kawan ahli bambu dari Bandung. Kami sekaligus mengadakan workshop dan mengerjakan bambu itu bersama-sama warga,” kata Kamil. Mulai dari cara pengawetan bambu hingga pemasangan.

Gugun Muhammad, warga yang tinggal di rumah itu, mengatakan bahwa rumah ini dihuni oleh tujuh kepala keluarga. Dalam sepetak rumah, terdiri dari dua sampai tiga kepala keluarga. Total jumlah penghuninya 21 jiwa, termasuk anak-anak. “Kami bersaudara. Yang awalnya lajang lalu menikah sehingga bertambah kepala keluarga,” kata Gugun, yang juga anggota Urban Poor Consortium, lembaga swadaya yang menyoroti isu-isu kemiskinan.

Menurut Gugun, lokasi ini dulunya hampir digusur. “Akhir 2014, kami diminta membongkar bangunan agar mundur sepuluh meter dari kali,” katanya. Namun, warga bernegosiasi dengan petugas kelurahan dan kecamatan sebab mereka pernah membebaskan lima meter tanahnya untuk pembangunan tanggul di tepi sungai.

“Tetapi belum ada kepastian, warga akhirnya memotong sendiri rumahnya,” kata Gugun. Sampai sekarang, kata dia, isu pembongkaran masih mengambang. “Tetapi kami terus melakukan pembenahan.”

Pembenahan dilakukan warga dengan merenovasi sendiri rumahnya. Gugun ingin membuktikan bahwa warga pinggir kali bisa berbenah. “Salah satunya rumah contoh ini. Kami bangun untuk menunjukkan kepada pemerintah dan publik bahwa di pinggir kali bisa dibangun rumah yang beradaptasi dengan sungai dan kepadatan penduduk,” ujarnya.

Sembari membangun rumah contoh, warga juga mulai sadar tak membuang sampah ke sungai. Mereka membuat tong sampah dan mengumpulkan iuran kebersihan Rp 10 ribu per bulan.

Pembuatan rumah contoh juga terpenuhi berkat beberapa bantuan komunitas. Misalnya, dari Komunitas Anak Kali Ciliwung, Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK), Universitas Indonesia, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

Ada pula dana talangan dari hibah Asian Coalition of Housing Right (ACHR). Dana renovasi sebesar US$ 5.500 itu tak bisa menutupi keseluruhan biaya. Penghuni rumah berkontribusi dengan cara mengambil pinjaman dan mengangsur biayanya kemudian. Menurut Gugun, keseluruhan rumah menghabiskan biaya Rp 157 juta. Selain rumah empat petak itu, ada satu rumah lagi yang menjadi rumah percontohan. Maka, satu rumah kira-kira memakai ongkos Rp 30 juta.

Perbedaan yang paling dirasakan Gugun adalah nyamuk di rumahnya berkurang. “Nyamuk dulu banyaknya minta ampun. Sekarang jauh berkurang,” ucapnya. Nyamuk-nyamuk dulunya bersembunyi di balik triplek dinding rumah sebelum direnovasi. Nyamuk yang bersarang di kali juga berkurang karena warga tak lagi membuang sampah di sana.

Gugun menjelaskan, bukan berarti semua rumah di kampung itu akan diubah seperti rumah contoh. “Tetapi prinsipnya yang menjadi contoh. Bahwa ada jarak lima meter dari sungai, ada septic tank, pembagian ruang tetap mempertahankan sistem komunal, dan memungkinkan penggunaan bahan-bahan ramah lingkungan,” kata dia. “Lalu bentuknya vertikal, tidak menyebar ke samping tapi ke atas.”

Jayadi, 61 tahun, tinggal di rumah contoh itu bersama istrinya Nani, 51 tahun, dan anak-anaknya. Mereka tidur di lantai satu bersama anak bungsunya yang berusia 11 tahun. Lantas, anaknya yang sudah berkeluarga tinggal di lantai 2. “Lebih adem daripada rumah sebelumnya, hanya saja lebih sempit,” kata Jayadi. Tempat tidur mereka dipotong agar bisa muat di kamarnya.

Selain rumah contoh, warga bersama-sama membuat kelompok tabungan untuk merenovasi kampung. “Menabung untuk merenovasi rumah juga,” kata Ketua Umum Komunitas Anak Kali Ciliwung, Salijan.

Banner Belajar Menulis Penulisan di Tempo Institute

Bagikan