Home   Blog  
Kolom

  Monday, 06 August 2018 03:17 WIB

Sisyphus Mengatasi Macet

Author   pwtsetiadi

...menggeser preferensi ke sepeda, jalan kaki, dan angkutan umum.

Oleh Purwanto Setiadi

Foto itu beredar pada pertengahan pekan lalu, merekam sesuatu yang sebetulnya sudah basi: deretan kendaraan bermotor yang “mengular” dan tumplak di satu jalan di Jakarta. Entah siapa yang mula-mula mengunggahnya di media sosial, tapi pesannya jelas bahwa kemacetan tetap tak teratasi sekalipun pemerintah daerah telah memberlakukan perluasan kawasan pembatasan kendaraan ganjil-genap. Kemacetan yang menggila petang itu merupakan bukti betapa sia-sianya upaya yang begitu-begitu saja–yang mengingatkan pada mitologi Sisyphus dan batu besar yang didorongnya ke puncak bukit–untuk mengatasi kemacetan.

Sebetulnya, pengaturan baru itu layak memperoleh pujian. Hal itu menunjukkan adanya kemauan, sekurang-kurangnya isyarat mengenai niat, yang sungguh-sungguh untuk menangani persoalan tahunan dengan memilih langkah yang bukan berupa penambahan panjang jalan. Mereka yang tahu betapa melempemnya tindakan-tindakan yang ada sejauh ini sudah lama menunggu-nunggu kebijakan yang lebih berani.

Yang patut disayangkan, karena pembatasan itu hanya berkaitan dengan event Asian Games, jelas belum tampak adanya kebijakan terpadu yang betul-betul bertujuan melancarkan pergerakan orang. Penambahan panjang jalan, dan upaya apa saja yang selama ini dijalankan, sama sekali jauh dari tujuan ini, dan hanya melayani para pemilik mobil. Dijanjikan sebagai wahana yang mampu memenuhi kecepatan dan mobilitas yang efisien, dalam kenyataannya, mobil justru memaksa penggunanya lebih banyak “menghabiskan umur” di jalan, duduk dengan perasaan geram, mungkin juga menghibur diri dengan berbagai cara, dalam kepungan asap beracun.

Kebijakan dan langkah-langkah yang selama ini dipilih mengindikasikan betapa pemerintah daerah tak pernah berefleksi secara serius dengan mengajukan pertanyaan ini: jika tujuan yang mau dicapai adalah memuluskan pergerakan orang, apakah memang pilihan yang sudah-sudah itu yang bisa merealisasikannya? Tanpa imajinasi yang kaya, miliaran duit dalam anggaran belanja daerah hanya akan dibelanjakan secara percuma, kalau bukan sembrono.

Bagaimana anggaran diboroskan untuk menambah panjang jalan bisa dilihat dari cepatnya jalan-jalan baru dijejali kendaraan. Hal ini tak terhindarkan karena, bagaimanapun, laju pertambahan panjang jalan–yang hanya kurang dari 1 persen–tak bisa lebih pesat dibandingkan laju pertumbuhan kendaraan bermotor. Kondisi angkutan umum yang belum sepenuhnya bisa menunjang mobilitas orang, khususnya bagi mereka yang tinggal di kota-kota sekitar Jakarta, mendorong hampir siapa saja untuk, seakan-akan berlomba-lomba, memiliki sarana transportasi sendiri. Tak mengherankan bila pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor per tahun bisa mencapai 5-6 persen–lebih kurang 5.000 unit mobil dan motor per hari.

Dengan keberadaan kendaraan bermotor yang jumlahnya bahkan lebih banyak ketimbang jumlah penduduk itu tentu masuk akal pula bila, pada gilirannya, proporsi penggunaan angkutan umum terhitung kecil. Menurut data Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek, dari 40 jutaan perjalanan per hari di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, hanya 15 persen yang ditempuh dengan angkutan umum. Saking padatnya jalan oleh kendaraan pribadi, suatu kali kecepatan gerak kendaraan-kendaraan itu bahkan hanya bisa mencapai rata-rata 5 kilometer per jam.

Tanpa keberanian meninggalkan apa yang selama ini dianggap sebagai solusi padahal bukan, karena justru menghalangi jalan keluar dari masalah, kondisinya bisa semakin buruk. Dengan kekuasaan dan kewenangannya, pemerintah daerah mestinya bisa memilih tindakan yang masuk akal, melayani kepentingan bersama, dan tentu saja efektif, ketimbang terus-menerus berupaya menyenangkan para pengguna kendaraan bermotor–khususnya pengendara mobil.

Untuk itu, pemerintah daerah tak perlu bersusah payah mencari-cari formula, model, atau jenis tindakan yang sebaiknya diaplikasikan. Banyak kota di berbagai penjuru dunia yang telah memilih keluar dari deraan masalah kemacetan (juga polusi yang diakibatkannya) dengan kebijakan yang sangat boleh jadi tak populer mulanya, tapi kota-kota itu berhasil. Dari semua itulah pemerintah daerah Jakarta bisa memilih untuk mengadaptasi. Yang mana pun macamnya, setidaknya ada tiga segi yang bakal menjadi jangkarnya, dengan asumsi masalah penyelenggaraan transportasi publik sudah tak merecoki.

Mula-mula yang perlu diterapkan adalah pembatasan akses dan atau pengurangan jumlah kendaraan bermotor di suatu kawasan. Pengaturan ganjil-genap memang hakikatnya pembatasan akses–yang, sayangnya, tak serta-merta juga berimplikasi pengurangan. Tapi, dalam penerapannya, ada masalah pengawasan. Bukan berarti karena kelemahan ini lalu apa yang telah dijalankan jadi dibatalkan. Modifikasi, barangkali, justru yang diperlukan.

Di Paris, umpamanya, pembatasan diberlakukan dengan sistem stiker. Kendaraan dikelompokkan ke dalam enam kategori. Dasar pengelompokannya adalah seberapa parah polusi yang diakibatkan menurut standar emisi yang berlaku di Uni Eropa; kendaraan yang paling berpolusi langsung dilarang. Bukan hanya itu. Pada hari-hari tertentu, jika tingkat polusi sedang tinggi, larangan masuk suatu kawasan juga serta-merta berlaku.

Dalam skema yang tujuannya sama, Kota New York pada 2009 memberlakukan peraturan daerah yang melarang kendaraan terlalu lama berhenti atau parkir dalam keadaan mesin menyala–agar emisinya tak menambah tingkat polusi. Di suatu kawasan, misalnya, kendaraan dilarang berhenti, parkir atau menunggu, lebih dari tiga menit. Peraturan ini bahkan diaplikasikan lebih ketat di kawasan sekolah, dengan waktu yang diberikan hanya semenit.

Mempromosikan jalan kaki dan penggunaan sepeda merupakan pilihan yang melengkapi pembatasan akses dan pengurangan jumlah kendaraan bermotor. Barcelona dan Copenhagen bisa dijadikan panduan. Di Barcelona, perencanaan mobilitas dalam kotanya berfokus pada apa yang disebut sebagai superblok. Idenya, yang lalu diterapkan, adalah mengarahkan lalu lintas ke jalan-jalan di sekitar blok-blok pilihan itu dan mendedikasikan ruang di antaranya sebagai prasarana publik bagi pesepeda dan pejalan kaki. Pemerintah kota ingin, dengan begitu, preferensi bergeser dari mengendarai mobil ke bersepeda dan berjalan kaki.

Serupa dengan itu, Copenhagen telah berinvestasi dalam jumlah besar untuk membangun infrastruktur yang memudahkan, mempercepat, dan menjamin keselamatan perjalanan bersepeda. Kini Copenhagen boleh dibilang merupakan kota paling ramah sepeda di dunia. Beleid yang diberlakukan meliputi kewajiban menyediakan tempat penyimpanan sepeda bagi karyawan di gedung-gedung komersial dan tempat parkir sepeda di bangunan untuk pemukiman. Pemerintah kota juga membangun jalan raya sepeda, yang menghubungkan kawasan pinggiran dan pusat kota.

Dua “amunisi” kebijakan tersebut bakal lebih lengkap dengan membebani kendaraan bermotor bea memasuki kawasan tertentu yang berpotensi mengalami situasi “parkir massal”. Jalan berbayar atau electronic road pricing yang sudah sangat kerap diwacanakan akan diberlakukan di Jakarta adalah salah satu wujudnya. Di Milan, umpamanya, kendaraan yang memasuki pusat kota antara pukul 7.30 dan 19.30 harus membayar pajak 5 euro (lebih kurang Rp 83 ribu). Di samping itu, kendaraan harus memenuhi standar emisi minimum; kendaraan bermesin disel pun wajib dilengkapi filter khusus.

Tentu saja, tak akan mudah menerapkan semuanya di Jakarta, atau kota-kota besar lain di Indonesia. Bisa dibayangkan tarik-menarik antarkepentingan bakal berlangsung sengit. Pergulatan itu bisa memperlihatkan siapa saja yang bervisi jauh ke depan serta berfokus pada manfaat bersama dan siapa yang hanya melayani kepentingan jangka pendek yang berpotensi melumpuhkan mobilitas orang. Tapi, mau bagaimanapun, pilihannya tetap hanya ada dua: mempertahankan kebijakan yang sesungguhnya hanya tampak indah tapi tak berarti apa-apa atau benar-benar mengatasi masalah langsung ke faktor penyebabnya meski harus melawan keberatan yang bisa sangat luas.

Penulis adalah wartawan, penyunting buku Jurnalistik Dasar: Resep dari Dapur Tempo, pernah menjadi Redaktur Pelaksana Tempo. Ia juga menulis tentang musik, kopi, dan sepeda di akun Facebook-nya.

Baca juga : Badan Siber dan Sandi Negara Akan Gandeng BIN, TNI, Polri

Bagikan
WordPress Image Lightbox