Home   Blog  
Jurnalisme

  Friday, 07 November 2025 11:25 WIB

Sejarah Jurnalistik dan Perkembangannya di Indonesia

Author   Raden Putri
Sejarah Jurnalistik dan Perkembangannya di Indonesia

Kegiatan jurnalistik memungkinkan manusia untuk mengetahui berbagai informasi terkait peristiwa, kebijakan, hingga isu sosial yang terjadi di sekitar mereka. Dalam konteks ini, sejarah jurnalistik menunjukkan bagaimana peran media dan jurnalis telah membentuk cara manusia menerima dan menyebarkan informasi dari masa ke masa.

Banner Belajar Menulis Penulisan di Tempo Institute

Pada awalnya, penyebaran berita hanya mengandalkan media cetak seperti koran dan majalah, namun kini telah beralih ke platform digital yang lebih cepat dan interaktif. Hal ini menunjukkan bahwa jurnalistik terus beradaptasi mengikuti kemajuan teknologi dan kebutuhan masyarakat. Untuk memahami lebih lanjut, simak rangkuman sejarah jurnalistik berikut ini.

Sejarah Jurnalistik

Dalam Inspirasi Edukatif: Jurnal Pembelajaran Aktif, dijelaskan bahwa sejarah jurnalistik di dunia diketahui berawal dari “Acta Diurna” pada zaman Romawi Kuno masa pemerintahan kaisar Julius Caesar (100-44 SM).

Arca Diurna adalah papan pengumuman sejenis majalah dinding. Melansir Britannica, papan informasi itu mencatat peristiwa penting sehari-hari, seperti pidato publik, dan diterbitkan setiap hari dengan digantung di tempat-tempat penting untuk diketahui oleh umum.

Papan informasi ini diyakini sebagai produk jurnalistik pertama; pers, media massa, atau surat kabar harian pertama di dunia. Julius Caesar pun disebut sebagai Bapak Pers Dunia sekaligus penemu jurnalistik.

Saat berkuasa, Julius Caesar memerintahkan agar hasil sidang dan kegiatan para anggota senat setiap hari diumumkan pada Acta Diurna. Demikian pula berita tentang kejadian sehari-hari, peraturan-peraturan penting, serta apa yang perlu disampaikan dan diketahui rakyatnya.

Sejak saat itu muncul para “Diurnarii”, yakni orang-orang yang bekerja membuat catatan-catatan tentang hasil rapat senat dari papan Acta Diurna untuk para tuan tanah dan para hartawan. Dari kata Diurnarii ini muncul katal Diurnalis dan Journalist (wartawan)

Perkembangan Jurnalistik di Indonesia dan Dunia

sejarah jurnalistik
Sumber gambar: Canva

Perkembangan jurnalistik di dunia semakin pesat setelah mesin cetak pertama ditemukan Johann Gutenberg pada 1450. Koran cetakan yang berbentuk seperti sekarang ini muncul pertama kalinya pada 1457 di Nuremberg, Jerman. 

Salah satu peristiwa besar yang pertama kali diberitakan secara luas di surat kabar adalah pengumuman hasil ekspedisi Christoper Columbus ke Benua Amerika pada 1493. Pelopor surat kabar sebagai media berita pertama adalah “Gazetta” yang lahir di Venesia, Italia, pada 1536 M. 

Sejarah perkembangan jurnalistik di Republik Venesia terjadi saat perang melawan Sultan Sulaiman. Pada awalnya surat kabar ini ditulis tangan dan para pedagang penukar uang di Rialto menulisnya kemudian menjualnya dengan murah, tapi kemudian surat kabar ini dicetak.

Adapun surat kabar cetak yang pertama kali terbit teratur setiap hari adalah Oxford Gazzete di Inggris tahun 1665. Surat kabar ini kemudian berganti nama menjadi London Gazzette dan Henry Muddiman yang menjadi editornya menggunakan istilah Newspaper untuk pertama kali.

Ilmu persuratkabaran di Amerika Serikat mulai berkembang pada tahun 1690 dengan munculnya istilah journalism. Pada masa itu, terbit surat kabar modern pertama berjudul Publick Occurrences Both Foreign and Domestick di Boston yang dipelopori oleh Benjamin Harris. 

Ia dikenal sebagai jurnalis pertama di Amerika sekaligus dunia karena keberaniannya menyajikan laporan yang aktual dan kritis. Tulisan-tulisannya bahkan menyoroti kebijakan pemerintah kolonial, sesuatu yang jarang dilakukan pada masa itu.

Sejarah jurnalisme baru muncul di Amerika Serikat pada pertengahan 1960-an hingga 1970-an sebagai reaksi terhadap gaya berita tradisional yang dianggap kaku dan terlalu objektif. Gaya ini menghadirkan tulisan yang lebih naratif, personal, dan menggugah emosi pembaca.

Istilah new journalism dipopulerkan oleh Tom Wolfe melalui bukunya The New Journalism (1973). Tokoh-tokoh seperti Truman Capote, Hunter S. Thompson, dan Joan Didion dikenal sebagai pelopor yang memadukan teknik sastra ke dalam karya jurnalistik.

Karya terkenal dari aliran ini adalah In Cold Blood (1966) karya Truman Capote. Pendekatan ini kemudian memengaruhi gaya penulisan modern seperti feature, long-form journalism, dan narrative journalism yang banyak digunakan hingga kini.

Sementara itu, sejarah jurnalistik di Indonesia dimulai pada abad 18, tepatnya tahun 1744. Saat itu, surat kabar bernama Bataviasche Nouvelles diterbitkan oleh para pengusahaan Belanda.

Pada 1776, terbit Vendu Niews di Jakarta yang berfokus pada berita pelelangan. Ketika memasuki abad ke-19, terbit berbagai surat kabar lainya yang semuanya dimiliki oleh pengusaha Belanda untuk orang-orang mereka atau bangsa pribumi yang mengerti bahasa Belanda.

Surat kabar pertama untuk kaum pribumi di Indonesia terbit pada tahun 1854 dengan hadirnya majalah Bianglala, disusul oleh Bromartani pada tahun 1855 di Weltevreden (kini Jakarta). Soerat Kabar Bahasa Melajoe kemudian terbit di Surabaya pada tahun 1856. 

Sejak saat itu, berbagai surat kabar mulai bermunculan dengan isi berita yang bersifat informatif dan menyesuaikan kondisi pada masa penjajahan. Perkembangan jurnalistik di Indonesia semakin pesat dengan lahirnya Medan Prijaji, koran pertama yang dimiliki dan dikelola oleh bangsa Indonesia sendiri.

Didirikan oleh Tirto Adhi Soerjo (Raden Mas Djokomono) di Bandung, koran ini awalnya terbit mingguan pada tahun 1907 sebelum berubah menjadi harian pada tahun 1910. Tirto dianggap sebagai pelopor jurnalistik modern di Indonesia karena berhasil membawa pembaruan dalam gaya pemberitaan, penulisan artikel, hingga pengelolaan iklan.

Tokoh penting lainnya adalah Dr. Abdoel Rivai, yang dikenal karena tulisannya yang tajam dan kritis terhadap pemerintahan kolonial Belanda. Ia dijuluki Bapak Jurnalistik Indonesia oleh Adinegoro dan diakui sebagai kolumnis pertama Indonesia yang berani bersuara lantang.

Memasuki masa Orde Baru, media massa berfungsi sebagai corong pemerintah. Saat itu, setiap perusahaan media wajib memiliki SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) sebagai bentuk kontrol negara terhadap kebebasan pers. 

Namun, setelah masa Reformasi, kebebasan pers mulai ditegakkan melalui pengesahan UU Pers No. 40 Tahun 1999, yang menjadi tonggak penting bagi kemerdekaan media di Indonesia.


Bagikan
WordPress Image Lightbox