Sejak revolusi industri, laju pemanasan global makin meningkat sebanding dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk. Kini, bumi dihuni hampir delapan miliar orang dan 1,5 miliar kendaraan serta isu perubahan iklim pun semakin terdengar. Konsumsi minyak global bertambah lebih dari dua kali lipat, begitu pula penggunaan listrik (Elizabeth Kolbert, 2020).
Seiring meningkatnya aktivitas manusia yang ekploitatif, sumber daya alam di bumi akan terus dikeruk dengan dalih kebutuhan dan perkembangan zaman. Makin banyak hutan dibabat untuk pertambangan, dan pembangunan infrastruktur minim kajian lingkungan, belum lagi pemenuhan gaya hidup manusia yang konsumtif, juga perkembangan teknologi yang membutuhkan banyak energi.
Peran jurnalis dalam menyebarkan isu ini juga krusial. Jurnalis memiliki kemampuan membingkai cerita sehingga mampu menjelaskan permasalahan iklim yang saintifik dengan bahasa yang lebih mudah dipahami. Itu menjadi tantangan tersendiri bagi para jurnalis untuk menghadirkan karya yang mampu memberi dampak bagi lingkungan dan masyarakat.
Bagja Hidayat, jurnalis senior Majalah TEMPO, menyebutkan ada tiga aspek penting yang harus diperhatikan jurnalis saat meliput masalah iklim, yaitu aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Tiga aspek tersebut juga menjadi tolak ukur dalam melihat apakah isu yang akan diliput seimbang atau tidak.
Selain itu, ada beberapa tips yang bisa diterapkan para jurnalis ketika meliput masalah perubahan iklim, antara lain:
Sudah sewajarnya jika seorang jurnalis yang turun ke lapangan untuk meliput memperhatikan poin ini. Yakni soal etika peliputan dan menerapkan Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Seperti pada pasal 1 KEJ, jurnalis harus bersikap independen, akurat, berimbang dan tidak beritikad buruk). Tanpa pedoman ini, hasil liputan bisa bermasalah. Begitu juga saat peliputan soal krisis iklim, jurnalis harus mengutamakan kepentingan publik.
Tak jauh berbeda dengan tips meliput masalah perubahan iklim di atas. Karena berpedoman mengutamakan kepentingan publik, jurnalis harus meliput isu sesuai dengan keadaan di lapangan. Agar berita berimbang, jurnalis harus mewawancarai sumber-sumber terkait, terutama masyarakat yang terdampak. Tidak hanya melakukan wawancara pada pemangku kepentingan saja.
Bagja Hidayat mengatakan keberadaan manusia dalam bingkai peliputan, memberikan nilai lebih. Cerita-cerita yang humanis, tidak hanya mampu membangkitkan emosi pembaca, tapi juga menambah daya tarik tersendiri. Oleh sebab itu, agar liputan tentang perubahan iklim menjadi lebih ‘hidup’, jurnalis bisa melibatkan sosok yang memiliki keterkaitan dengan isu yang diliput.
Tips meliput isu perubahan iklim yang satu ini perlu ditanamkan pada setiap jurnalis, tidak hanya saat peliputan isu iklim saja. Saat berada di lapangan rasa penasaran harus dipupuk, begitu juga dengan kritis dan skeptis. Tanpa rasa penasaran, jurnalis akan kesulitan menggali informasi-informasi penting. Jika rasa penasaran sudah terpuaskan, jurnalis harus memiliki sikap kritis dan skeptis. Caranya dengan mempertanyakan kembali jawaban dari rasa penasaran yang sudah didapatkan. Apakah benar informasi yang diperoleh, bagaimana cara pembuktiannya? Itulah tugas jurnalis.
Sebelum terjun ke lapangan, jurnalis harus sudah mempersiapkan senjatanya, yakni perencanaan liputan. Seperti tema liputan, daftar narasumber dan juga pertanyaan yang akan ditanyakan. Tak kalah penting, jurnalis juga harus memiliki angle sebelum pergi meliput. Agar liputan isu perubahan iklim menjadi lebih menarik dan mendalam, Anda bisa menerapkan angle “why” (mengapa) atau “how” (bagaimana). Karena dengan dua kata ini, jawaban yang diperoleh akan lebih luas, sehingga hasil liputan akan lebih mendalam.
Baca juga : Badan Siber dan Sandi Negara Akan Gandeng BIN, TNI, Polri