Jurnalisme Investigasi. Masa-masa jurnalis investigasi yang diibaratkan sebagai lone wolf, serigala yang berjalan sendirian, telah usang. Dunia yang semakin kompleks, batas teritori tak lagi jelas diterjang kemajuan teknologi, membuat kejahatan korupsi kian berjejaring. Kolaborasi pun menjadi kata kunci. Berikut ini adalah tulisan tentang Program Investigasi Bersama Tempo, program kolaborasi Tempo Institute dan Tempo yang didukung Free Press Unlimited dan pada tahun ini juga didukung oleh Center for Energy Research of Asia (CERA).
Investigasi Bersama Tempo ini sebuah inisiatif kerja bersama para wartawan, lintas provinsi, bahkan lintas negara. Bagja Hidayat, wartawan Tempo, menuliskannya dalam artikel yang juga dimuat di Majalah Tempo edisi 16 Juli 2018 ini.
****
Aliansi orang sadik, tentang kolaborasi para wartawan membuat liputan investigasi lintas provinsi, lintas negara.
KABAR menggembirakan tiba pada Senin pekan lalu: liputan Tempo tentang perdagangan manusia dari Nusa Tenggara Timur ke Malaysia mendapat Penghargaan Kehormatan atau Honorable Mention dari The Society of Publishers in Asia (SOPA). Organisasi nirlaba berbasis di Hong Kong ini merupakan perkumpulan media seluruh dunia yang ada di Asia.
Para juri menilai liputan berjudul “Jual-Beli Orang ke Malaysia” yang diterjemahkan menjadi “Trafficking Humans to Malaysia” itu sebagai “kolaborasi lintas batas yang mengesankan, didukung oleh dokumentasi yang cermat dan pekerjaan yang ulet melacak semua pemain dan meyakinkan mereka untuk berbicara.”
Liputan yang terbit pada 20 Maret 2017 ini memang kolaborasi antara wartawan Tempo dan Malaysia Kini. Tempo mengirim Stefanus Edi Pramono ke Selangor untuk melacak kilang yang menjadi penampungan tenaga kerja perempuan ilegal dari Indonesia. Pramono ditemani Alyaa Alhadjri dari Malaysia Kini ketika menemui pemilik kilang yang menolak kejahatannya dipublikasikan.
Albert Tei, pengusaha itu, lalu memaksa kedua wartawan ini menandatangani surat pernyataan tak mempublikasikan temuan mereka. Tentu saja keduanya menolak. Dari Jakarta, Redaktur Eksekutif Tempo Wahyu Dhyatmika, menelepon Albert dan bernegosiasi agar melepaskan Pram dan Alyaa. Percakapan keduanya berlangsung tegang. Albert Tei kemudian melepas Pram-Alyaa dan investigasi perdagangan orang itu terbit di kedua media tersebut.
Di Malaysia, liputan tersebut bikin heboh. Polisi Diraja Malaysia lalu menangkap Albert dan menetapkannya sebagai tersangka perdagangan manusia. Pemerintah Indonesia lalu memulangkan ratusan TKI yang disekap dan diperbudak itu ke kampung halamannya di sini.
Liputan tersebut tak akan terjadi jika tak diusulkan Yohannes Seo, kontributor Tempo di Kupang. Ia sudah lama mendengar di kota dan desa-desa NTT banyak orang berangkat ke Malaysia dengan memalsukan dokumen dan banyak yang pulang hanya nama. Cerita itu ia ajukan dalam sebuah proposal dalam program Investigasi Bersama Tempo (IBT) yang dihela oleh Tempo Institute.
Secara bersamaan juga masuk proposal Bambang Riyanto, wartawan Analisa di Medan, yang ingin melacak informasi penyekapan seorang tenaga kerja asal NTT di ibu kota provinsi itu. Dua usulan ini kemudian disatukan karena membentuk mata rantai perdagangan manusia dari Kupang-Surabaya-Medan-Malaysia.
IBT adalah ikhtiar Tempo merangsang para jurnalis lokal di banyak daerah menerapkan jurnalisme investigasi tentang masalah di tempat tinggalnya, yang didukung oleh Free Press Unlimited. Indonesia adalah Republik yang luas dengan beragam masalah. Wartawan Tempo di Jakarta tak bisa menjangkau semua kasus yang terserak itu. IBT menjadi jembatan para wartawan lokal mengungkap kejahatan di daerahnya lalu diterbitkan di semua outlet Kelompok Tempo Media.
Tahun ini IBT memasuki tahun ketiga, dengan dukungan FPU dan Center for Energy Research Asia (CERA). Pada 2016, liputan perbudakan anak buah kapal dari Indonesia di kapal-kapal Taiwan juga mendapat penghargaan sebagai Laporan Investigasi Unggulan (Award for Excellence) dari SOPA. Informasi awal investigasi ini datang dari wartawan The Reporter di Taiwan yang mendengar ada anak buah kapal asal Tegal meninggal di perairan negara mereka.
Wartawan The Reporter datang ke Indonesia, sebaliknya Mustafa Silalahi dari Tempo berangkat ke Taiwan untuk membuktikan desas-desus itu. Hasilnya adalah kolaborasi investigasi yang menguak sisi gelap bisnis penangkapan ikan Indonesia-Taiwan. Anak-anak buah kapal dari Indonesia hidup mengenaskan di kapal-kapal di tengah laut Asia, mereka menderita dengan gaji sangat rendah, bahkan tewas disiksa dan kelaparan.
Para pembaca, kami meyakini media hadir di tengah Anda untuk mengungkap kejahatan-kejahatan yang ditutupi agar tak ada lagi kejahatan serupa di kemudian hari. Sebab, tumbuhnya jurnalisme investigasi adalah cermin tumbuhnya pers yang bebas. Pers bebas adalah prasyarat utama demokrasi untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik.
Dengan IBT kami ingin menularkan semangat tersebut kepada kolega kami di daerah, agar semakin banyak liputan investigasi sehingga kejahatan serupa di masa mendatang bisa dicegah. Hanya dengan aliansi orang-orang sadik kita masih bisa berharap Indonesia akan gemilang pada masanya. ***
Versi asli dimuat di rubrik Surat dari Redaksi majalah Tempo edisi 16 Juli 2018.
Baca juga : Badan Siber dan Sandi Negara Akan Gandeng BIN, TNI, Polri