Home   Blog  
Kolom

  Tuesday, 28 August 2018 00:44 WIB

Gelas Kaca Demokrasi

Author   pwtsetiadi

...demokrasi sejati: langsung dan partisipatoris.

Oleh Purwanto Setiadi

Keputusan Presiden Joko Widodo untuk memilih Kiai Haji Ma’ruf Amin sebagai calon wakilnya dalam pemilu presiden tahun depan meletupkan kekecewaan sebagian pendukungnya. Di antara mereka, terutama yang kebetulan juga suporter Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, mantan gubernur DKI Jakarta yang kini sedang menjalani hukuman penjara, ada yang serta-merta bertekad tak akan menggunakan suaranya atau golput.

Bagi mereka yang mutung, keputusan Jokowi itu bukan saja merupakan pragmatisme yang sangat telanjang, semata-mata demi mempertahankan kekuasaan; mereka juga menilai Jokowi terperangkap dalam permainan lawan-lawannya, yang mempolitisasi agama. Dalam penglihatan mereka, Kiai Ma’ruf Amin adalah ulama konservatif yang selama ini merestui diskriminasi terhadap kaum minoritas (Ahmadiyah; lesbian, gay, biseksual, dan transgender; pelarangan atribut perayaan Natal bagi muslim) serta pembunuhan karakter terhadap Ahok melalui fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang penistaan agama.

Belum jelas seberapa besar jumlah kelompok golput itu, juga apa akibatnya terhadap peluang sang petahana. Sudah ada satu survei, memang, yang menunjukkan tingkat keterpilihan pasangan Jokowi dan Kiai Ma’ruf Amin melampaui angka 50 persen. Tapi jajak pendapat atau survei lain masih diperlukan. Masih ada jarak waktu hingga pemilu benar-benar dilaksanakan. Sampai saat itu tiba banyak hal bisa terjadi dan sangat mungkin pikiran sudah benar-benar jernih untuk membuat keputusan.

Yang jelas sudah tampak, di antara kegaduhan pro-kontra berkaitan dengan langkah Jokowi dan respons-nya itu, adalah kesan betapa demokrasi begitu memuakkan, kalau bukan menjijikkan. Yang selama ini dipuji-puji sebagai sistem pemerintahan yang ideal, karena rakyatlah yang memegang kekuasaan dan pelaksanaannya pun didedikasikan untuk dan diawasi oleh rakyat, ternyata malah menelikung dan mengkhianati rakyat. Mereka yang dipercaya mewakili rakyat justru menjauh dan hanya melayani diri sendiri dan kelompoknya, atau segelintir elite.

Wajar jika, karena hal itu, semakin bertambah saja jumlah orang yang patang arang terhadap demokrasi, ditambah pula oleh adanya kampanye yang kian gencar tentang perlunya mengganti demokrasi dengan, ya, sistem khilafah. Tapi yang terjadi di Indonesia sesungguhnya juga merupakan fenomena di mana-mana. Di Amerika Serikat demokrasi yang telah berusia lebih dari dua abad baru-baru ini memunculkan Donald Trump, figur pengidap narsisistik dan pembohong yang hanya memikirkan diri sendiri dengan menunggangi sentimen populer di kalangan bawah dan kelompok agama, sebagai presiden. Di sejumlah negara Eropa tren serupa malah sudah lebih dulu berlangsung.

Dalam derajat ekstrem, muncul pendapat bahwa demokrasi telah berada dalam tahap krisis: sebagai satu sistem, ia sudah rusak parah dan korup. Banyak yang percaya kerusakan itu ibarat gelas kaca yang rengkah, tak bisa diperbaiki–dibuat utuh–lagi.

Fakta-faktanya, yang berderet-deret dan mendukung pesimisme itu, memang semacam ini: mereka yang sudah telanjur menjadi anggota dewan perwakilan rakyat di pusat maupun di daerah hampir pasti sulit dikalahkan; mereka yang telah menjabat sebagai wakil rakyat boleh dibilang menghadapi persaingan yang tak berarti karena lawan-lawannya tak punya cukup dana kampanye; pemilu, pada hakikatnya, hanyalah pertarungan antarkaum pemilik uang; partai-partai gurem bisa memaksakan agendanya, dengan segala macam ancaman supaya timbul kecemasan dan pemerintah yang berkuasa jadi kambing hitamnya.

Semua itu, dan masih ada yang lain, tak pernah tersembunyi; semuanya, perlahan maupun cepat, membunuh optimisme. Tapi keputusasaan terhadap praktek demokrasi tak bisa serta-merta menguatkan alasan untuk mereparasinya hanya melalui pergantian politikus atau partai, apalagi menguburkan demokrasi itu sendiri. Bagaimanapun, jika diingat prinsipnya, menurut pengertian orisinalnya, demokrasi adalah kekuasaan oleh rakyat. Tak ada sistem lain yang secara intrinsik memberikan garansi privilese demikian ini. Yang jadi masalah adalah bagaimana dalam kenyataan prinsip ini dijalankan.

Yang mendesak dibuat gamblang adalah fakta bahwa demokrasi perwakilan, yang diadopsi dan disebarkan di mana-mana sejak Eropa mempraktekkannya lebih kurang dua abad yang lampau, hanyalah satu alternatif “model” yang dibangun berdasarkan prinsip ideal demokrasi–voting langsung dan melibatkan semua warga negara untuk urusan publik apa pun. Alih-alih sepenuhnya menganut prinsip ini, karena alasan praktis, demokrasi perwakilan menyediakan pemilu, partai politik, dan “wakil” sebagai cara yang dianggap mendekati.

Berbagai situasi yang menyebabkan antipati terhadap demokrasi menguat adalah petunjuk yang mencolok, tentang kerugian yang justru timbul akibat adanya semacam cacat bawaan: dalam model atau sistem itu pemungutan suara malah tak punya dampak signifikan, sebab pemilik suara tak benar-benar punya pilihan. Rakyat hanya bisa mengganti elite politik (ini pun kalau beruntung bisa melakukannya), tapi hak untuk memutuskan perkara-perkara yang menyangkut kepentingan publik tetap tak mereka miliki.

Sesungguhnya, dan semestinya, di situlah upaya merestorasi demokrasi berfokus. Yang selama ini sudah telanjur berjalan  jelas tak bisa dipertahankan lagi; setiap ikhtiar harus bertujuan menjadikan praktek demokrasi mendekati prinsip idealnya, karena hanya itulah demokrasi yang sebenar-benarnya.

Target yang harus dicapai adalah memberi kesempatan bagi semua warga negara untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan-keputusan yang mempengaruhi kehidupan dan komunitas mereka. Tentu saja, hal ini akan membuka perdebatan mengenai apakah mungkin melakukannya. Kaum yang berada dalam posisi berkuasa, atau berniat ikut menikmati kekuasaan, juga siapa saja yang merasa tak melihat peluang lain yang lebih baik, sudah pasti bakal bersikukuh bahwa demokrasi yang menegaskan pentingnya peran aktif warga negara ini mustahil dipraktekkan. Dalam kenyataannya, pendapat negatif itu tak sepenuhnya benar.

Meski pada umumnya masih dalam wujud lembaga baru dan bersifat eksperimen, demokrasi semacam itu sesungguhnya telah mulai dirintis. Misalnya yang berupa rapat umum pembahasan anggaran daerah (lingkungan pemukiman, distrik, kota), yang mula-mula dikembangkan di Porto Alegre, Brasil, pada 1980-an dan kemudian disebarkan ke ratusan kota di Amerika Latin, Eropa, dan Amerika Serikat. Dan sejauh ini semuanya menunjukkan bahwa demokrasi langsung, yang bersifat partisipatoris, bukanlah kemustahilan dan malah bisa dijalankan. Inovasi demokrasi ini, jika diperbaiki, diperkuat, dan disebarkan, berpotensi menjadi alat untuk mewujudkan demokratisasi yang lebih radikal di dalam masyarakat.

Tantangannya adalah bagaimana mencari cara untuk mendobrak kemapanan–lebih tepatnya kebuntuan. Kaum elite yang berkuasa pasti tak bakal menyerahkan kewenangan, bahkan sedikit saja. Sebagaimana halnya perubahan-perubahan sosial di mana pun pada umumnya, warga negara biasalah yang mesti memperjuangkannya, melalui gerakan sosial dan aksi langsung jika semua saluran aspirasi disumbat. Di Torres, Venezuela, misalnya, hal seperti inilah yang terjadi: ratusan warga menduduki balai kota untuk menuntut diimplementasikannya pembahasan anggaran yang melibatkan warga kota. Sejak 2005, setelah peristiwa itu, warga Torres mengontrol 100 persen anggaran kota untuk investasi.

Tak bakal ada hasil yang seketika, tentu saja. Majelis pembahasan anggaran, dewan penentuan proyek lokal, dan yang lainnya memang baru ikhtiar sektoral. Perlu waktu dan kesabaran untuk memadukannya dalam satu sistem menyeluruh. Tapi seberapa lama pun, jika yang mau disingkirkan adalah demokrasi yang oligarkis, yang bisa mengatur siapa yang boleh mencalonkan diri dan siapa yang bisa memerintah, yang selalu mendiktekan tujuan-tujuan kebijakan, usaha apa saja yang hasilnya akan memberikan jaminan suara dan kewenangan bagi setiap warga negara tetap patut ditempuh.

Penulis adalah wartawan, penyunting buku Jurnalistik Dasar: Resep dari Dapur Tempo, pernah menjadi Redaktur Pelaksana Tempo. Ia juga menulis tentang musik, kopi, dan sepeda di akun Facebook-nya.

Baca juga : Badan Siber dan Sandi Negara Akan Gandeng BIN, TNI, Polri

Bagikan
WordPress Image Lightbox