“Kekerasan seksual adalah salah satu jenis kekerasan yang khas karena sulit dibuktikan dan bahkan korban ditempatkan sebagai pihak yang bersalah. Korban ditempatkan sebagai objek dan dianggap pantas diperlakukan demikian,” ujar Lia Toriana dari Yayasan Plan International Indonesia saat berbicara di acara Obrolan Online Tempo Institute yang disiarkan langsung di Instagram Tempo Institute, Kamis, 16 Juli 2020. Lia menilai logika ini berakar dari racun patriarkal yang menempatkan perempuan/penyintas sebagai objek.
View this post on Instagram
Perempuan yang bekerja sebagai Girls Leadership National Project manager ini mengatakan bahwa victim blaming ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja tapi juga terjadi di tingkat global. Menurut Lia, dibutuhkan gerakan luar biasa revolusioner untuk mengubah budaya dan mindset yang telah mendarah daging ini. Kekerasan apapun bentuknya, tidak bisa dibenarkan.
Cara pandang masyarakat yang salah terhadap perempuan tidak hanya berdampak pada victim blaming dalam kasus kekerasan seksual. Hal ini juga berdampak pada aspek sosial, budaya, dan ekonomi lainnya. Di antaranya adalah wage gap atau perbedaan gaji antara pekerja perempuan dan pekerja laki-laki, kebebasan berekspresi perempuan yang dibatasi, dan stigma tentang standar kecantikan perempuan yang ideal.
Hal-hal itulah yang membuat Lia ingin medampingi anak-anak perempuan untuk berdaya, bercita-cita, dan berani bersuara melalui program Girls Leadership Academy (GLA) yang diampunya. Lia menuturkan, “anak-anak perempuan harus memiliki rasa nyaman dan rasa bangga terhadap tubuhnya sejak dini.”
Lia juga mengungkapkan pentingnya RUU PKS sebagai alat untuk menciptakan keadilan dan kesetaraan bagi korban kasus kekerasan seksual. “Ada hal-hal yang tidak bisa dijelaskan dalam UU PKDRT (Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga)” ucap Lia. Contohnya KDP (kekerasan dalam pacaran), KBGO (kekerasan berbasis gender online), Non-Consensual Intimate Images (revenge porn), catcalling. Banyak sekali yang tidak cukup diatur di UU PKDRT. RUU PKS menjadi penting bukan untuk melegalkan seks pranikah.
Selain itu, banyaknya kesalahpahaman terhadap RUU PKS disebabkan karena tidak utuh dalam membaca RUU PKS. “Hanya membaca bagian per bagian,’’ ungkap Lia.
Spektrum kekerasan seksual cukup luas, dan definisinya memang sangat subjektif. Namun ada indikator yang bisa menjadi tolak ukur, yaitu ketika korban merasa tidak berdaya atau merasa terancam. Para korban/penyintas kekerasan seksual ini seringkali mengalami dampak trauma seumur hidup.
“Cost trauma belum diperhitungkan/diperhatikan oleh pemerintah. Mungkin pelaku sudah dihukum, namun korban memiliki trauma seumur hidup. Healing, rehabilitasi, pendampingan psiko-sosial sudah dilakukan, namun tidak lantas itu cukup. RUU PKS ada untuk memastikan bahwa rehabilitasi terhadap korban dilakukan secara kontinu. Bahwa korban, kita semua, anak-anak perempuan merasa aman. RUU PKS menjadi tools agar kita sebagai warga negara Indonesia merasa aman,” paparnya.
Orangtua dan keluarga juga memiliki peran penting dalam upaya mencegah kekerasan seksual dan mendukung para korban/penyintas. Salah satunya adalah pentingnya menanamkan pendidikan seksual kepada anak sejak dini. Di antaranya dengan mengenalkan organ intim menggunakan nama sesungguhnya bukan nama pengganti, kampanye ‘No Go Tell’ agar anak mampu melindungi dirinya sendiri dan melaporkan ketika ada orang yang memasuki teritori tubuhnya, serta edukasi terkait pubertas saat anak memasuki masa remaja.
Kemudian, ada 3 hal penting yang bisa dilakukan diri sendiri untuk mencegah kekerasan seksual dan mendukung para korban/penyintas. Pertama, empower and educate your self. “Bikin diri kita berdaya. Gimana cara empower your self? Educate your self. Melalui kanal-kanal bermanfaat yang membahas konten-konten berkaitan dengan kekerasan seksual, pencegahan, dan bagaimana kita bisa menolong korban dan penyintas,” ujar Lia.
Kedua, jangan membatasi diri dengan lingkungan pertemanan yang toxic. Perluas jejaring dengan lingkaran pertemanan yang suportif. Menurut Lia hal ini penting karena lingkaran pertemanan adalah yang memvalidasi kita sebagai manusia, perempuan, maupun laki-laki.
Terakhir, tolong lah orang lain. “Jangan dinikmati sendiri, mari kita ajak temen-temen yang lain untuk juga expanding their horizon dan empower themselves, serta jadilah perubahan yang ingin kita lihat,” ungkap ibu tiga anak ini. Hal ini juga bisa dilakukan dengan bergabung bersama komunitas, kawan-kawan yang memiliki visi dan frekuensi sama untuk bisa melakukan perubahan secara berkelanjutan.
“Kita boleh lah marah-marah sama pemerintah. But start to change everything within your self. Karena kita pengen melihat perubahan dari diri kita dulu. Mindset ini harus dimiliki sama semua orang, bukan hanya perempuan. Itu penting,” tutur Lia.
ERDISA NURMALIA
Baca juga : Badan Siber dan Sandi Negara Akan Gandeng BIN, TNI, Polri